Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Perempuan Penjual Sirih

31 Maret 2014   19:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:15 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13962452541711517797

[caption id="attachment_329317" align="aligncenter" width="539" caption="Sumber Foto: dotwebid.blogspot.com "][/caption]

Suamiku dipindahtugaskan ke kota kecil ini sekitar lima bulan yang lalu. Sebagai ibu rumah tangga dengan satu orang anak yang biasa hidup di daerah ramai, awalnya aku menghadapi kepindahan ini dengan perasaan cemas. Betapa tidak? Kudengar darinya, bahwa tempat tugasnya yang baru ini terletak di kota kecil yang jauh dari segala fasilitas dan keramaian.

Kantor tempat suamiku bekerja, tidak menyediakan fasilitas rumah dinas. Untuk menyesuaian diri di tempat kerjanya yang baru, suamiku berangkat sebulan lebih dulu sambil mencari rumah kontrakan. Dan disinilah kami, melihat rumah itu sebulan kemudian.

Rumah mungil itu ternyata terletak di desa yang cukup jauh dari tempat kerja suamiku. Memang, tak mudah mencari rumah kontrakan di daerah ini. Aku tertegun melihat rumah yang akan kami tinggali. Rumah panggung yang berdinding dan berlantai papan itu nampak kurang rapi. Catnya berwarna kuning muda dan masih baru, hasil kerja suamiku. Halamannya yang luas nampak lebih tinggi dari badan jalan di hadapannya. Halaman itu cukup rindang karena ditumbuhi pohon buah-buahan seperti mangga, rambutan, dan sirsak.

Kulirik Bimo anak kami, raut wajahnya tak kalah herannya denganku. Suamiku hanya terpingkal melihat keraguan di wajah kami berdua.

“Jangan hanya di luar saja. Ayo masuk, kalian pasti akan suka,” ajaknya sambil mengangkati koper-koper pakaian kami ke dalam.

Benar saja, keadaan di dalam rumah tidak seburuk perkiraanku. Rumah itu terdiri dari ruang tamu, ruang tengah, dua kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Cukup bersih dan kelihatannya terawat dengan baik. Rupanya suamiku cukup rajin mengurus seisi rumah. Seluruh perabotan, alat-alat elektronik, dan peralatan dapur sudah berada pada tempatnya. Barang-barang tersebut telah kukirimkan lebih dulu seminggu yang lalu karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Selama itu pula kami tinggal di rumah orangtuaku yang tak jauh dari rumah lama kami. Menurut suamiku, tetangga baru di sekitar rumah turut membantu menurunkan dan mengangkati barang-barang kami ketika truk ekspedisi tiba.

“Bagaimana menurutmu, cocok tidak?” Suamiku menunjukkan meja kerja dan komputer PC yang biasa kugunakan untuk menulis di pojok ruang tamu. Meja itu berada di bawah jendela yang bila dibuka lebar-lebar akan membentangkan panorama hijaunya persawahan dan mengalirkan udara desa yang segar. Sementara itu, terdengar Bimo memekik riang dari kamarnya. Sepertinya ia mendapatkan kamar yang sesuai dengan keinginannya.

Aku tersenyum lebar. “Terimakasih, Pa. Kamu tahu sekali yang kuinginkan.”

Sejak Bimo mulai duduk di bangku taman kanak-kanak hingga tahun keempat sekolah dasar kini, aku sering merasa kesepian. Bimo lebih sering bermain bersama teman-teman seusianya. Atas dorongan suamiku, aku mulai menulis sesekali dan mengirimkannya ke majalah kesayanganku. Aku juga menulis pengalamanku sebagai seorang ibu di sebuah blog sederhana di kala senggang. Suami dan anakku selalu memberi support bila karyaku berhasil dimuat atau jika blog-ku mendapat reaksi yang positif dari pembacanya.

Kamipun mulai menjalani hari-hari yang tenang di rumah baru yang sederhana ini. Seminggu pertama, tetangga di sekitar rumah datang bergantian untuk memperkenalkan diri. Mereka sangat ramah dan kerap menawarkan bantuan. Aku dan Bimo segera merasa betah. Bahkan, Bimo mendapatkan banyak “kawan main” baru yang membuatnya asyik bermain di sore hari. Suamiku tentu saja turut senang melihat kebahagiaan kami.

Ada satu hal lagi yang menyenangkan bagiku. Untuk berbelanja kebutuhan dapur sehari-hari, aku tak perlu pergi jauh-jauh. Cukup berbelanja di pasar tradisional yang kupikir-kupikir lebih mirip “pasar kaget”. Mengapa demikian? Pasar ini hanya buka dari jam delapan hingga jam sepuluh pagi saja. Jaraknya hanya sekitar lima menit bila aku berjalan kaki dari rumah.

Kebutuhan dapur yang diperjualbelikan di pasar ini tidaklah begitu lengkap. Hanya beberapa jenis sayur, buah-buahan, dan rempah-rempah yang ditanam sendiri oleh masyarakat sekitar. Selain itu, tersedia pula tempe, tahu, dan beberapa jenis ikan kering. Untuk itulah, sesekali aku harus menitipkan beberapa jenis belanjaan kepada suamiku.

Pada suatu pagi, aku hendak membeli sayuran di pasar. Berbelanja ke pasar tradisional setelah Bimo dan papanya berangkat sekolah dan bekerja, kini menjadi kegiatan rutin yang selalu kunantikan. Sungguh menyenangkan berjalan kaki menghirup udara segar sambil menikmati panorama desa yang masih alami. Ditambah lagi, penduduk desa ini sangat ramah. Aku bersyukur dalam hati karena sudah tinggal di daerah ini.

Sesampainya di pasar, aku segera berkeliling mencari sayuran segar yang baru dicabut dari kebun. Hanya ada lima orang penjual sayur di pasar ini. Seorang ibu tua sedang menurunkan sayuran sawi yang warna hijaunya mengundang selera dari gerobak sorong. Aku segera menghampirinya. Tak perlu menawar lama, aku sudah menenteng dua ikat sawi dengan harga murah dan segera beranjak pulang.

Baru saja aku hendak pulang, tiba-tiba seseorang menawarkan jualannya. “Kak, daun sirihnya masih segar. Belilah seikat, Kak. Hanya empat ribu saja.”

Aku menoleh, seraut wajah ibu muda yang usianya lebih cocok jadi adikku itu menjual daun sirih tepat di sebelah penjual sayuran yang tadi kubeli. Baru kali ini aku melihatnya. Sepertinya ia masih baru berjualan di sini. Jualannya hanya beberapa ikat daun sirih yang ditaruh dalam sebuah ember kecil. Seorang anak perempuan berumur sekitar tiga tahun sedang merengek-rengek padanya minta diberikan uang jajan. Kulirik sekilas perutnya membesar di balik daster batik yang dikenakannya. Sepertinya kehamilannya sudah cukup tua. Terbit rasa iba dalam hatiku.

“Daun sirihnya ditanam sendiri, Dik?” tanyaku sambil memilih-milih ikatan daun sirih. Daun daun sirihnya nampak segar dan lebar-lebar.

“Ya, Kak. Baru pagi ini dipetik dari belakang rumah,” sambil menenangkan anak perempuannya yang terus merengek. Wajahnya terlihat letih. Berjualan dengan kondisi hamil tua sambil mengasuh seorang anak memang tidak mudah, benakku.

Akhirnya aku membeli seikat daun sirih. Sebenarnya, aku sendiri tidak terlalu membutuhkannya. Paling-paling daun sirih itu akan kumasukkan dalam rebusan air mandi agar tubuh terasa lebih segar. Itupun beberapa lembar daun saja. Daerah ini memang cukup dingin, karenanya aku selalu menyediakan air hangat untuk mandi di waktu pagi dan sore hari.

Begitulah pertemuan pertamaku dengan Renti, ibu muda penjual daun daun sirih. Rasa iba dan ketertarikanku akan kisah hidupnya, membuatku menjadi langganan setianya. Dalam seminggu, bisa tiga kali aku membeli dagangannya. Kami menjadi akrab. Suamiku pernah menanyakan daun sirih yang kerap kubuang karena layu sebelum terpakai. Ketika aku menceritakan kisah pilu Renti, ia mendukung penuh niatku.

Renti adalah cerminan perempuan sekaligus istri yang kurang beruntung. Ia menikah karena dijodohkan saat berusia sembilan belas tahun dan melahirkan anak pertamanya di usia dua puluh. Saat ini, usia kandungannya sudah menginjak bulan ke tujuh. Ini adalah kehamilannya yang kedua, kisahnya padaku.

Awalnya rumah tangga ibu muda itu cukup bahagia walaupun jauh dari kebercukupan. Suaminya yang berumur dua tahun lebih tua adalah seorang petani penyewa lahan yang mengandalkan ilmu bercocok tanam yang diperoleh secara turun temurun. Suatu ketika, tanaman bawang merah yang dirawatnya dengan susah payah gagal panen karena curah hujan yang terlalu tinggi. Padahal, sewa lahan belum dibayarkan karena uang yang ada telah habis terpakai untuk memodali perawatan tanaman. Titik awal perubahan kehidupan Renti pun dimulai.

Suaminya mulai berubah. Sering marah-marah tak menentu. Pemilik lahan yang datang menagih uang sewa lahan malah diusir dengan kasar. Akhir-akhir ini, ia malah lebih sering menghabiskan waktu di kedai dan minum-minum bersama teman-temannya. Entah, darimana ia memperoleh uang untuk itu. Pulang ke rumah, malah minta uang dari istrinya. Bila tak ada uang, suaminya memaki istrinya sebagai perempuan tak berguna yang tak pandai mencari uang.

Renti tak punya keterampilan apapun selain melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehari-harinya. Padahal, persalinan anak kedua sudah di depan mata. Lama-lama ia merasa malu karena sering meminjam uang dari orangtuanya yang juga kekurangan. Untunglah, ia rajin merawat tanaman sirih yang merambat di belakang rumah. Ibu muda itu menjualnya demi mengumpulkan sedikit uang untuk biaya persalinannya kelak.

Suatu hari, aku terperanjat melihat wajahnya yang lebam. Lebam merah kebiruan itu nampak jelas di pipinya, tepat di bawah mata sebelah kiri.

“Wajahmu kenapa, Dik?” tanyaku prihatin.

Awalnya, ia tak mau menjawab pertanyaanku. Ia malah berbalik menanyakan Bimo dan papanya. Aku yang merasa penasaran, terus mendesaknya.

Akhirnya ibu muda itu menunduk dan menjawab lirih. “Suamiku mulai main tangan, Kak…” ucapnya jujur. Mungkin ia memilih terbuka padaku karena aku selalu memperhatikannya dan ia merasa bisa mempercayaiku.

Aku segera menawarkan bantuan untuk mengantarkannya ke Puskesmas terdekat. Terlebih, aku sangat mengkhawatirkan janin di dalam kandungannya. Berkali-kali kutawarkan, berkali-kali pula ia menolaknya. Mungkin saja ia malu, aku kurang tahu pasti. Lalu aku berkata padanya, agar jangan segan-segan mengatakan padaku bila membutuhkan bantuan apapun. Ia mengiyakan.

Seminggu berlalu, aku mulai melupakan peristiwa itu. Setiap aku berbelanja ke pasar, aku kerap menanyakan kondisinya dan mengingatkan ibu muda itu agar memeriksakan kehamilannya ke bidan atau Puskesmas terdekat. Ia juga menceritakan bahwa suaminya masih sering berkata-kata kasar. Namun, setiap suaminya akan main tangan, Renti mengancam akan pulang ke rumah orangtuanya. Setelah mendengar ancaman itu, biasanya suaminya memilih pergi dari rumah setelah puas memaki istrinya. Aku menyarankan agar untuk sementara ia tinggal bersama orangtuanya demi keselamatannya dan janin yang dikandungnya. Ia mengatakan akan memikirkannya.

Libur kenaikan kelas pun tiba. Aku pergi menemani Bimo berlibur selama dua minggu ke rumah kakek dan neneknya. Suamiku tidak mendapatkan izin cuti, sehingga ia tetap tinggal untuk bekerja.

Pada suatu pagi aku hendak pergi berbelanja ke pasar. Tidak ada bahan makanan apapun di dalam kulkas. Selama kami pergi, suamiku hanya membeli masakan dari warung saja. Malas, jawabnya ketika kutanya.

Tiba-tiba aku penasaran dengan kabar penjual daun sirih langgananku. Berdasarkan ceritanya, seharusnya waktu melahirkan persalinan sudah hampir tiba. Dari kejauhan, aku melihat orang-orang berkumpul dengan suara riuh di pasar. Entah mengapa, aku merasakan kecemasan yang luar biasa dan segera berlari menuju kerumunan. Sekuat tenaga aku berusaha menerobos kerumunan orang-orang dan…

Ya, Tuhan… Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat. Renti tergeletak di tanah. Wajahnya terlihat lebam. Kulihat darah mengalir membasahi bagian bawah bajunya. Anaknya menangis ketakutan sambil terus memegangi ibunya. Ibu muda itu telah kehilangan kesadarannya.

Aku segera menyerukan agar ia dibawa ke rumah sakit terdekat. Orang-orang mengangkat tubuhnya dan menaikkannya ke kendaraan yang melintas. Kuajak ibu pedagang sayur untuk menemaniku dalam kendaraan menuju rumah sakit. Ia bercerita, tadi suami Renti datang ke pasar meminta uang. Istrinya menolak, akibatnya suaminya memukul wajah dan tubuhnya sebelum ada yang sempat mencegah. Ia berlari kabur ketakutan ketika orang-orang mulai datang melerai dan melihat istrinya terkapar di tanah.

Kupandangi penjual daun sirih yang terbaring dengan wajah yang memucat itu. Airmataku jatuh berlinang. Ibu pedagang sayur menenangkan anak Renti yang terus menangis. Batinku sangat terpukul atas kejadian ini. Timbul kegeraman yang luar biasa terhadap suaminya di saat yang bersamaan. Aku merasa harus berbuat sesuatu.

Sesampainya di rumah sakit, Renti segera masuk ke ruang IGD. Setelah menyelesaikan administrasi, aku menghubungi suamiku agar segera datang ke rumah sakit. Untunglah, ia segera tiba. Setelah menjelaskan situasi dan menyampaikan niatku, ia sepakat untuk mendukung sepenuhnya.

Kami berangkat menuju pasar untuk menanyakan dimana rumah orangtua Renti berada. Saat tiba di rumah yang kami tuju, keluarganya sedang bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Orang-orang di pasar yang memberitahu mereka. Kami menyampaikan maksud kedatangan kami dengan hati-hati, yaitu untuk melaporkan menantu mereka kepada pihak yang berwajib. Kami khawatir, suaminya akan melarikan diri dari tanggung jawab atas perbuatannya. Untunglah, orangtua Renti merespon positif niat kami.

Setelah menjelaskan kembali secara garis besar peristiwa yang menimpa putri mereka, kami segera membawa Ayah Renti untuk melapor ke kantor polisi, sedangkan keluarganya yang lain menuju ke rumah sakit.

Beberapa hari kemudian, kami mendapatkan kabar bahwa nyawa Renti dan anaknya dapat diselamatkan. Aku menarik nafas lega dan mengucap syukur mnendengar berita itu. Sedangkan suaminya, tepat seperti dugaanku, berniat melarikan diri. Namun, pihak yang berwajib berhasil menangkapnya tiga hari kemudian. Renti ingin mendapatkan keadilan atas diri dan anaknya dengan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak yang berwajib agar diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Ibu muda itu kini tinggal bersama orangtuanya. Terakhir kali kami sekeluarga berkunjung menjenguk, ia nampak mulai pulih. Ia berencana belajar berkebun sayuran untuk beberapa bulan ke depan. Orangtuanya yang akan mengajari. Aku memberikannya sejumlah uang untuk mewujudkan keinginannya itu. Wajahnya bersinar-sinar menerima pemberianku. Berkali-kali ia dan keluarganya mengucapkan terima kasih.

Atas kejadian itu, aku dan suamiku mengambil banyak hikmah. Kami diajarkan untuk lebih bersyukur setiap harinya atas kehidupan rumah tangga kami yang tenang dengan rezeki yang tidak berlebih, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan kami sekeluarga.

***

Samosir, 31 Maret ’14 (Tepian DanauMu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun