Semalam-malaman, aku memandangi perempuan itu dari rumahku di pinggiran tebing menuju laut lepas. Sosoknya menawan bagai hiasan rembulan. Helaian-helaian rambutnya tergerai hingga mencium pinggang. Gaunnya yang berkibar diterpa angin, melukis siluet tubuhnya yang semampai. Sebuah keranjang anyaman terletak di dekat kakinya. Perempuan pemetik rembulan, demikianlah aku menyebutnya.
Bukan tanpa sebab aku memanggilnya demikian. Aku ingin memetik rembulan, kalimat itulah yang terlontar dari bibir perempuan itu ketika aku bertanya mengapa ia berdiri di sana pada malam pertama aku melihatnya. Setelah itu, bibir perempuan itu kembali terkatup. Pandangannya hanya tertuju pada rembulan, seolah sedetik pun tak ingin kehilangan. Rupanya kehadiranku hanya mengganggunya. Sejak itu pula, aku tak ingin kehilangan sosoknya. Meski aku hanya mampu menatapnya diam-diam, saat ia muncul setiap senja untuk menanti rembulan yang ingin dipetiknya.
Keranjang anyaman yang dibawa perempuan itu kerap mengundang tanya di benakku. Keranjang itu selalu kosong. Mungkin perempuan itu akan menaruh rembulan di dalamnya setelah memetiknya, itulah yang terlintas di benakku. Karena tahu takkan pernah mendapatkan jawaban, maka aku memilih diam saja. Menikmati kehadiran perempuan pemetik rembulan itu adalah hal paling membahagiakan di dunia.
Lalu pada suatu malam, perempuan itu tak terlihat di tempatnya berdiri memandang rembulan. Hatiku cemas luar biasa. Ke mana gerangan perempuan itu? Setelah menunggu sekian lama, aku berlari menembus kegelapan malam bagai orang gila. Menuju ke arah datangnya perempuan itu pada setiap senja. Langkahku tersayat duri karena tak mengenakan alas kaki, namun aku tak menghiraukannya. Kecemasan lebih menguasaiku hingga rasa nyeri sudah tak berarti apa-apa. Perempuan itu, aku harus segera menemukannya.
Setelah sepasang kakiku letih, akhirnya aku menemukan perempuan itu di pinggiran hutan yang gelap. Duduk terisak di sebelah keranjangnya yang hancur terkoyak-koyak. Mungkin itulah sebabnya, mengapa ia tak pergi memetik rembulan.
“Syukurlah, akhirnya aku menemukanmu,” ucapku di sela-sela nafas yang tersengal.
Sepasang matanya yang basah memandangku heran. “Untuk apa kau mencariku?”
“Aku menunggumu memetik rembulan, namun kau tak kunjung datang.”
Perempuan itu menatapku tak mengerti. “Kau menungguku?”
Aku mengangguk. “Mari, kuantar kau pergi memetik rembulan.”
“Kali ini aku tak bisa melakukannya. Kau lihat?” perempuan itu menunjuk pada keranjangnya, “keranjangku telah rusak dikoyak hewan buas. Kini aku tak punya wadah untuk menaruh rembulan,” sedunya.