Tibamu saat purnama. Sewaktu malam merangkak naik ke atas singgasana dan menorehkan kepedihan pada jiwa-jiwa kesepian. Langkahmu tertatih meninggalkan Kampung Air Mata, tempat mimpi-mimpi diberangus dan cinta ditasbihkan menjadi kegeraman. Sekujur tubuhmu beraroma duka, senyummu berhiaskan luka. Ketika kau berpaling, kutemukan pilu sedang berenang-renang di kedalaman matamu.
Perempuan Kampung Air Mata. Begitulah orang-orang menyebutmu. Kehadiranmu senantiasa menebarkan kesedihan. Sepasang matamu laksana mantra yang mengundang setiap orang meneteskan air mata. Meski demikian, mereka memujamu. Setia menanti kehadiranmu bagai kanak-kanak yang merindukan ibunya. Kau ibarat oase. Pelepas dahaga bagi mereka yang ingin meluapkan kesesakan. Tapi tidak bagiku, karena aku telah lama kehilangan air mata.
Lelaki malang. Orang-orang menjulukiku demikian. Setiap purnama tiba, aku melolong pada rembulan dan menceracau dalam kehampaan. Mereka yang melintas mampu mengusap dada, prihatin dengan keadaanku. Namun, adapula yang menghardikku agar diam. Kepada mereka yang menghardikku, aku menatap nyalang dan mengumpat dari celah-celah kandang tempatku terkurung. Bila terbebas kelak, aku akan mencabik-cabik mereka dengan sepuluh jemariku.
Dulu, orang-orang mengenalku sebagai pemuda gagah. Gadis-gadis berusaha menarik perhatianku. Cuma seorang dara yang berhasil membuatku mabuk kepayang. Kemala, kembang yang menjadi buah bibir seisi kampung. Hatiku takluk di sudut kerling matanya. Semangatku membara untuk memenangkannya. Setelah berlomba dengan kumbang-kumbang lain yang terpikat keindahannya, Kemala akhirnya bisa kumiliki.
Sewindu setelah kupersunting, maut menjemput Kemala. Malam purnama menjadi saksi derai tangisku. Lara menghabisiku hingga tak bersisa. Aku meraung pada rembulan. Kepedihan membuatku bertekad menyusul Kemala ke alam baka agar kami tak terpisahkan. Tapi orang-orang mencegahku. Mereka merenggut tombak, belati, dan pedang dari genggamanku. Ketika hendak menjatuhkan diri ke dalam jurang, mereka beramai-ramai meringkusku. Mengikat kaki dan tanganku
Sia-sia aku bertanya mengapa mereka memperlakukanku demikian. Segala ucapanku seolah membentur angin. Orang-orang hanya membisu dan berpandangan satu sama lain. Seseorang menepuk-nepuk pundakku, membujukku agar melapangkan hati dan merelakan kepergian Kemala. Bagaimana mungkin aku melupakan? Ucapan orang itu membuatku murka. Aku mengamuk dan meronta. Ikatanku terlepas. Secepat kilat aku menyerang orang itu. Tapi orang-orang menahanku. Mereka menyeret tubuhku dan mengurungku dalam kandang pengap, lalu merantai sepasang kakiku. Sejak itu pula, aku menjadi manusia terkutuk.
Aku setia menanti rembulan purnama untuk mengabarkan rasa kehilangan. Bundaran terang yang menjadi saksi sebuah kepergian. Hingga suatu malam, kemunculanmu merenggut bayang-bayang Kemala dari pelupuk mataku. Saat orang-orang meneteskan air mata, aku terpana oleh pesonamu. Kau adalah Kemala dalam wujud yang lebih menawan. Hidung yang mencuat dan sepasang sabit yang memayungi tatapanmu membuatku takluk seketika.
***
Malam-malam menjelma menjadi penantian kehadiranmu. Hingga suatu malam, kau menghampiriku dan mengajakku berbincang. Mungkin iba. Kau mengabaikan celaan dan tatapan sinis orang-orang. Satu-satunya orang yang tak memperlakukanku layaknya orang terkutuk.
Suatu ketika, kuberanikan diri untuk bertanya, “Katakan padaku, mengapa kau pergi dari Kampung Air Mata?”
Kau menatapku muram. “Mereka mengusirku.”