Di sanalah perempuan itu bersemedi. Di bawah pohon rindang yang terletak di ujung desa. Perempuan berselubung kabut, demikianlah orang-orang desa memanggilnya. Saat fajar tiba, kabut tipis mulai menyelubunginya. Hal itu terus berlangsung hingga tengah malam. Menimbulkan suasana mencekam bagi siapa pun yang melintasinya.
Semasa kanak-kanak, aku pernah menanyakan pada ayah, mengapa perempuan itu selalu duduk bersila di bawah pohon tertua di desa kami. Ayah mengatakan, perempuan itu berada di sana karena orang-orang desa takut padanya. Perempuan itu memilih menyepi agar penduduk desa tak lagi gelisah karena kehadirannya. Tua-tua desa melarang siapa pun mendekatinya. Meskipun sekadar menyapanya. Tapi itu tak berlaku untukku. Aku telanjur iba dengan kehidupannya yang sebatang kara.
Menurutku, perempuan muda itu adalah perempuan tercantik di desa kami. Kusebut muda, karena tahun-tahun yang berlalu tak meninggalkan jejak pada parasnya yang jelita. Bila berlama-lama memandangnya, pesonanya akan semakin memikat hati. Malangnya, aku jatuh dalam pesona itu tanpa sempat menghindarinya.
“Kamu tak tahu apa yang kamu katakan.” Itulah jawaban perempuan itu saat aku mengutarakan perasaanku padanya. “Seisi desa akan menghakimimu. Kita berdua akan diusir dari sini.”
“Lalu kamu takut?” Kutatap kedua bola matanya. “Cinta selalu butuh pengorbanan.”
“Aku tak punya tempat untuk pergi. Orang-orang akan selalu ketakutan melihatku.”
“Jangan khawatir, aku akan selalu berada di sampingmu.”
“Mengatakan tak semudah menjalaninya. Kamu masih memiliki keluarga. Mereka takkan merelakanmu. Sedangkan aku? Aku ini sebatang kara.”
“Mulai sekarang, akulah yang akan menjadi keluargamu.”
Perempuan itu menarik nafas panjang. “Beri aku waktu untuk berpikir. Sebaiknya, kamu pertimbangkan kembali keadaanku sebelum memutuskan.”
“Aku menerimamu apa adanya. Bagiku, kabut yang menyelubungimu adalah suatu keindahan,” ucapku sambil menatapnya lembut.