Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kepingan Hati Adella #1

30 Januari 2015   13:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:06 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_393968" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber Gambar: indahkumalasariblogspot04.blogspot.com"][/caption]

Prolog

Baru saja gadis berambut sebahu itu mulai mengeluarkan barang belanjaannya dari troli, seseorang menubruknya dari belakang. Ketika menoleh, sebungkus biskuit di tangannya terjatuh. Lidahnya mendadak kelu. Tubuhnya kaku.

Sepasang mata kelam itu menatapnya tajam. Mengirimkan getaran yang mengobrak-abrik seluruh ketenangan miliknya. Mengurungnya dalam kecemasan. Refleks tangan gadis itu mencengkeram pinggiran meja kasir. Mencari tumpuan tubuhnya yang seolah limbung.

Suara kasir yang menyapa untuk bergegas menyentakkan kesadarannya. Tergopoh-gopoh gadis itu mengeluarkan seluruh belanjaannya di depan kasir. Bahkan nyaris menumpahkan seluruh isi dompetnya ketika hendak membayar. Tak dipedulikannya raut wajah kasir yang menatapnya curiga.

Setengah berlari gadis itu meninggalkan supermarket. Dua plastik besar belanjaan yang ditentengnya tiba-tiba menjadi ringan. Tapi saat menuju areal parkir, ia menyadari bahwa langkah kaki yang mengikutinya semakin cepat. Semakin dekat. Ia bergegas memacu langkahnya…

***

Kepingan Satu

Simanindo, Desember 1997

Gadis kecil dengan rok bercorak bebungaan itu sedang berlari-lari di tepian danau. Senja itu semburat jingga masih merambat malu. Hangat mentari menyisakan kemilau permukaan air yang memantul. Sekelompok camar turut menyemarakkan langit dengan keanggunannya. Sesekali terbang melintas, kadang pula menukik tajam. Kesunyian melingkupi Danau Toba yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk.

“Adella… tunggu aku!” pekik seorang bocah lelaki yang berlari mengejar gadis kecil sahabatnya itu.

“Hahaha… kejar aku kalau kamu bisa!” Gadis kecil mempercepat larinya. Tapi apa daya, langkah-langkah panjang sobatnya sekejap saja menyusul. Satu sentakan di lengan kirinya membuat mereka berdua terjatuh di hamparan pasir.

Adella merengut. Rok hadiah ulang tahun ketujuh dari orangtuanya dua hari yang lalu berlumuran pasir. Padahal rok baru itu kesukaannya. Tapi bocah lelaki di sampingnya malah terkekeh. Gadis kecil itu membeliak kesal.

“Marah, ya?”

Setengah bersungut Adella beranjak dan mengibaskan roknya. “Kamu sih… Rok baruku jadi kotor,” gerutunya.

“Maaf… maaf ya. Aku juga kotor, kok.” Bocah lelaki itu turut berdiri. Baru saja ia tegak, segumpal pasir mendarat di wajahnya.

Adella terbahak. “Ini balasan untuk yang tadi!” Lalu ia berlari menjauh sekencang mungkin.

“Awas ya kalau kamu dapat!”

Kedua kanak-kanak itu kembali saling mengejar sambil tertawa lepas. Telapak-telapak mereka meninggalkan jejak pada hamparan pasir yang memutih. Sesekali mereka menyapa riak tenang di tepian. Memercikkan air jernih kebiruan satu sama lain. Lalu kembali tergelak dan saling mengejar. Senja indah itu diwarnai keriangan.

Letih mengantar mereka mengaso pada sebuah batang nyiur yang tumbang. Bocah lelaki itu menatap kawan sepermainannya. Kesedihan menggelayuti wajah cerianya. Sepasang matanya yang bersinar meredup.

“Ada apa, Mar?” tanya gadis kecil di hadapannya resah.

Sekonyong-konyong Damar berdiri. Hembusan angin menerbangkan rambut ikal hitamnya. Untuk anak berumur tujuh tahun, ia terlihat menjulang dibanding anak lain seusianya. Sedetik kemudian ia tunduk dan meraup segenggam pasir, lalu melemparkannya ke arah laut. Tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya.

“Kamu sedih nggak kalau aku pergi?”

Adella terdiam mendengar pertanyaan tak terduga itu. Terlintas kembali dalam ingatannya. Damar yang berulangkali menyelamatkannya dari gangguan anak-anak nakal. Membelanya mati-matian saat anak lain mengejek-ejek tanda lahir di dagu sebelah kirinya. Menjadi pelindungnya dalam situasi apapun. Kapanpun. Damar, sahabat yang disayanginya.

“Memangnya kamu mau pergi?” tanyanya heran.

“Papaku pindah kerja ke Medan.”

“Kapan?”

“Dua minggu lagi.”

“Berarti kita berpisah?”

“Ya.”

Raut Della berubah murung. “Aku tak punya teman lagi.”

“Pasti nanti ada teman baru.”

Sepasang mata di hadapannya mulai berkabut. “Tapi aku maunya kamu…”

Damar menyentuh pundak gadis kecil itu.“Aku juga tak ingin pergi.”

“Lalu kenapa pergi?”

“Karena aku harus.”

“Tinggal saja. Tetap jadi sahabatku.”

“Aku juga mau. Tapi kita ini masih kecil. Baru tujuh tahun.” Damar mengacungkan tujuh jemarinya. “Masih harus tinggal sama orangtua.”

Kabut itu menggelap. Lalu menjadi tetesan airmata yang mengaliri pipi halus Della. Isakan kecil sesekali terdengar. Hati Damar tertusuk. Ia benci melihat sahabatnya bersedih, apalagi menangis. Setengah berlari ia menuju tepian laut. Menendang air ke segala penjuru sekuat tenaga. Percikan air memancar ke segala arah. Ia sungguh tak rela kehilangan Adella, sahabat lembutnya yang rapuh.

Gadis cilik itu terpaku menatap kemarahan sahabatnya. Perpisahan sudah di depan mata. Kata-kata Damar benar. Mereka cuma anak berusia tujuh tahun yang harus tinggal bersama orangtua. Meski berat, ia harus merelakan kepergian sahabatnya. Tangisnya mereda. Perlahan diusapnya pipi yang basah dengan ujung baju.

“Damar, ayo duduk sini!” panggilnya.

Bocah lelaki itu menghampiri sahabatnya dan duduk bersisian. Bajunya basah kuyup. “Kamu nggak nangis lagi, Del?”

Sebuah senyum tersungging di bibir Adella. “Buat apa? Aku memang sedih. Tapi kamu tetap harus pergi, kan?”

“Aku janji akan sering kirim surat.”

“Sungguh?”

Damar menggangguk kuat-kuat. “Kamu balas surat-suratku ya.”

“Pasti,” jawab Adella dengan mata berbinar. Sepertinya kata perpisahan tidak terlalu menakutkan sekarang. Bukankah mereka akan saling berkirim surat?

“Seandainya kita ketemu nanti, kamu kira-kira jadi apa ya?”

Mmm… aku belum tahu. Kamu?”

“Masih sama. Petualang yang mengelilingi dunia,” ucap Damar dengan mimik serius.

Gadis cilik di sebelahnya tergelak keras. “Memangnya jadi petualang itu cita-cita ya?”

Loh, aku serius. Cita-cita ‘kan nggak harus selalu jadi dokter, pilot atau guru?”

“Kenapa sih ingin sekali keliling dunia?”

Damar berdiri dan membentangkan kedua lengannya lebar-lebar lalu memejamkan matanya. “Coba ikuti aku,” pintanya.

Dengan hati penuh tanya Adella mengikuti permintaan sahabatnya. Sesaaat setelah memejamkan mata ia masih belum mengerti. Angin yang bertiup mengibarkan helaian rambut dan roknya yang bercorak bunga. Udara mulai terasa dingin.

“Sekarang buka mata. Sudah mengerti?”

Adella menggeleng kebingungan.

“Kamu merasakan angin yang berhembus?”

“Lumayan kencang. Lalu apa hubungannya?”

“Karena itulah cita-citaku. Menjadi seperti angin yang bertiup mengunjungi banyak tempat di dunia...”

Adella terpana mendengar kalimat sahabatnya. Damar memang berbeda dari anak lain yang dikenalnya. Tak jarang kata-kata atau perbuatannya mengejutkan. Kerap membuat orang-orang di sekitarnya terheran-heran. Terkadang ia malah merasa bocah lelaki itu lebih dari sekedar anak berumur tujuh tahun.

Perpisahan yang terjadi seminggu kemudian ternyata sungguh perih. Hampir saja ia tak mau keluar rumah untuk mengantarkan kepergian sahabatnya itu. Takkan pernah lekang dari ingatannya, saat melambaikan tangan. Separuh keceriaannya telah pergi bersama sahabatnya. Gadis kecil itu terpuruk dalam kehilangan...

***

bersambung...

****

Samosir, 30 Januari '14 (Tepian DanauMu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun