[caption caption="Sumber Ilustrasi: m.tempo.co"][/caption]
Sinar pagi menerobos masuk lewat celah-celah tirai jendela. Membangunkan mimpiku lebih awal dari kemarin. Sehari sebelum akhir pekan. Sisa-sisa malam belum beranjak dari lelapmu. Suara tidurmu berirama letih seperti biasanya. Kau baru berbaring di sisiku sejam yang lalu. Lagi. Seperti hari-hari kemarin.
Perlahan aku beranjak dari pembaringan. Merapikan rambut ikalku dalam satu ikatan lalu membasuh muka di wastafel. Aku melangkah menuju pintu depan. Pintu berderit pelan. Aroma pagi menerobos masuk. Kuregangkan tubuh sejenak lalu memungut koran pagi. Menaruh berita hari ini di atas meja makan. Kau akan mencarinya bila terjaga nanti. Lalu membacanya sambil menggerutu tentang ketidakadilan yang tersaji hari ini. Bocah-bocah kelaparan, orang-orang teraniaya, atau hal-hal lain yang menaikkan kemarahanmu dua kali lebih cepat dari biasanya. Kau lupa, ketidakadilan acap bertahta di rumah tempatmu berteduh. Sepotong hati yang sering kau beri pilu. Aku.
Kuamati seisi rumah selintas. Cangkir dan piring kotor, tumpukan buku di sembarang tempat, ceceran makanan di atas karpet dan layar monitor yang masih menyala. Kekacauan malam hari yang kau timbulkan ketika aku tertidur. Kupadaman layar monitor, lalu bergegas mengambil peralatan untuk membersihkan seisi rumah.
“Eleanor, jangan berisik!” teriakmu ketika langkahku tersandung kaki meja dan menimbulkan suara gaduh.
“Maaf, aku tak sengaja,” balasku. Aku bergerak lebih hati-hati. Tak ingin kau murka dan mengucapkan kata-kata yang melukaiku, atau semakin menambah luka.
Hari telah benderang. Semua sudah berada kembali di tempatnya. Rapi dan bersih. Aroma cokelat dan donat memenuhi dapur. Langkahmu terseret. Sambil menguap tak henti, kau mengempaskan tubuhmu di kursi makan.
“Aku letih dan lapar,” keluhmu. Lingkaran hitam membayangi sepasang matamu.
Kusodorkan secangkir cokelat dan sepiring donat dalam diam. Kata-kata seringkali berbalas kalimat singkat yang membuatku tersudut. Mungkin hal-hal yang kupikirkan lebih sederhana. Tak serumit maksud ucapanmu atau kata-kata yang kau tuliskan.
Keningmu berkerut saat membaca kepala berita. “Dasar dungu! Memalukan!” Kau mulai berceloteh tentang hal-hal benar yang harusnya dilakukan. Dunia ini aneh dan menggelikan. Itulah pendapatmu tentang berita hari ini. Kata-katamu sarat ketidakpuasan. Aku mendengarkan sambil mengangguk sesekali. Segelintir saja yang bisa kumaknai. Selebihnya, aku cuma mengira-ngira. Kupikir lebih baik membiarkanmu. Setidaknya, kemarahanmu bukan tertuju padaku.
Kau berhenti bicara dan meletakkan koran. Letih. Menyeruput cokelat hangat lalu menggigit donatmu. Sebuah pikiran tiba-tiba menggangguku. Sudah lama aku tak bercerita padamu. Mungkin kali ini kau mau mendengar apa yang kupikirkan.