[caption id="attachment_411270" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber Gambar: rgarcellano.wordpress.com"][/caption]
Hari belum lagi terang. Tapi aku telah terjaga dalam isakan. Mimpiku berulang sama. Masih tentangmu. Tentang harapanku dan harapanmu yang teramat jauh. Kegagalanku meraih anganmu di udara. Terlalu tinggi bagiku, Troy... Maukah kamu turun menghampiriku sekali saja?
Sepi... Kumulai pagi ini sambil mengenangmu di antara jalinan benang yang kutenun dengan sepenuh hati...
***
Setahun lalu kamu datang ke desa sunyiku. Tibamu siang itu kala angin enggan menyapa. Kamu mematung beberapa saat di ujung halaman luas rumahku. Menatapku penuh tuntutan. “Kamu masih di sini?” tanyamu sambil berjalan mendekat. Perempuan-perempuan yang sedang bercengkrama di bawah pohon melihat kita. Lalu pura-pura meneruskan obrolan saat raut wajahmu terlihat tak suka.
Sejujurnya, aku terkejut. Setelah pertengkaran kita berbulan-bulan sebelumnya, orang-orang mengira kita sudah menutup cerita. Termasuk aku. Tak lagi berharap kamu akan kembali. Meski bila harus jujur, perpisahan itu tetap saja berujung perih. “Seperti yang kamu lihat, Troy. Aku masih mengejar mimpiku...” ucapku hampir berbisik. Dari sorot matamu, aku bisa menebak pembicaraan ini akan berakhir bagaimana.
Kamu memandangi alat tenun kesayanganku dengan geram. Saat menyentuhnya, tanganmu bergetar pertanda kemarahan. “Masih saja kamu keras kepala, Tris! Sampai kapan kamu akan bertahan di desa ini?” Suaramu kerasmu menanyakan sekaligus menyatakan ketidakpahamanmu akan duniaku. Mengapa aku terbuai keindahan ulos yang menyihirku sejak masihbelia.
“Kupikir kamu seutuhnya kembali untukku,” sesalku. “Jiwaku ada di sini. Bunyi alat tenun yang beradu itu nafasku. Maukah kamu mencoba mengerti?” Semoga kamu menyadari kalau aku hanya ingin berbuat sesuatu untuk kain tenun titipan para leluhur. Bagi perempuan sederhana seperti ibu dan perempuan-perempuan gigih lainnyadi desa kami yang menggeluti hari di antara benang lusi dan pakan yang merekatenunsepenuh rasa.
“Lalu aku? Pendidikanmu? Semua hanya untuk ini?” Lagi-lagi kamu mengulang kata-kata yang sama. Seolah semua yang ada di hadapanku sia-sia tanpa makna. Kamu sama sekali tak mencoba ingin tahu tentang dunia pilihanku. Apalagi memahami mengapa kutinggalkan ruangan sejuk dan peluang karir demi menuangkan motif-motif yang berseliweran di benakku pada ulos yang kutenun.
Kurasa aku kehilangan kata saat menatapmu, Troy. Kamu memaksamu untuk memilih yang tak bisa kupilih. Sedikit waktu lagi saja… bisakah? Sebelum aku kembali ke hiruk-pikuk kotamu yang ramai. Meninggalkan kesunyian yang selalu kurindu dan berjalan ke arahmu. Harusnya kamu mempercayaiku dan bersedia menungguku sebentar saja. Pada akhirnya, aku tak mungkin akanmelepaskanmu…
Saat kamu meninggalkanku hari itu dengan sebuah liontin, aku tak kuasa mencegah. Kamu merdeka dengan pilihanmu. Tapi maaf… aku belum bisa melepas mimpiku. Tidak sekarang, Troy. Kuharap masih ada jalan untuk kita...
***
Seandainya kamu ada di sini, Troy. Kilatan lampu sedang menghujaniku. Semua orang berlomba-lomba mengajukan pertanyaan. Akankah kulihat sinar kagum di bola matamu? Maukah kamu bertepuk tangan sekeras-kerasnya untukku? Aku tak pernah bermimpi akan pergi ke negeri empat musim untuk menerima penghargaan ini, Troy. Ragam motif tenun ulos kreasiku ternyata disukai orang-orang. Mereka bahkan memujiku karena meski memiliki gelar akademis, aku memilih menekuni tradisi nenek moyangku di desa. Mereka bilang, aku menginspirasi perempuan-perempuan lain seusiaku.
Tahukah kamu? Aku sangat membutuhkan kehadiranmu saat ini. Hmmm... mungkin aku menginginkan terlalu banyak, Troy. Aku harus menuju ke podium sekarang dengan kebaya biru yang kukenakan ini. Mereka menungguku mengucapkan beberapa kata. Nanti aku akan menceritakannya padamu.
Suasana mendadak hening. Ratusan pasang mata menatapku. Mereka menantiku mulai bicara. Aku sedikit gelisah. Bibirku bergetar saat menyentuh ujung pengeras suara. Kurapikan ulos yang tersampir di pundak lalu meraba liontin di leherku sekilas. Rasa gugup itu tiba-tiba lenyap. Aku merasa tak sendirian. “Namaku Tris Simamora. Aku dilahirkan di Pulau Sumatera, Indonesia...” Kata-kataku meluncur deras setelahnya. Mungkin aku takkan bisa mengingat apa saja yang telah kuucapkan.
Saat orang-orang berdiri dan bertepuk tangan, kuharap kamu juga tersenyum di sana. Lihatlah, aku selalu mengenakan liontin pemberianmu. Setahun telah berlalu sejak aku kehilanganmu selamanya. Beristirahatlah dalam damai, Troy. Gadis penenunmu akan terus mengejar mimpi dan mengenangmu selamanya...
***
Samosir, 20 April 2015 (Tepian DanauMu)
Selendang tradisional khas Suku Batak
Benang tenun yang disusun sejajar (biasanya memanjang) dan tidak bergerak (terikat di kedua ujungnya), yang padanya benang pakan diselipkan (sumber: Wikipedia).
Benang yang dimasukkan melintang pada benang lungsin ketika menenun kain. Benang pakan digerakkan oleh tangan (pada ATBM) atau oleh mesin, dan diselipkan di sela-sela benang-benang lungsin (sumber: Wikipedia).
[caption id="attachment_411271" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar: @Rumpies The Club.dok"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H