DUA
Gelas Pecah
“Hai, Sis! Sudah lama?” sapa Janne. Gadis itu menghempaskan diri duduk di seberang meja Cora. Sepasang lesung pipi menghiasi senyum khasnya yang ceria. “Maafkan aku.”
“Kira-kira setengah jam,” jawab Cora berusaha terlihat riang. Ia tak ingin merenggut senyuman itu.
“Aku benar-benar mohon maaf.” Sepasang mata indah itu menyiratkan sesal. “Hair spa kali ini butuh waktu lebih lama dari biasanya.”
“Nggak apa-apa... Sudah biasa ‘kan?”
Janne tergelak sesaat. Tiba-tiba tawanya lenyap. Ia memandangi kakaknya dengan seksama. “Sepertinya… ada yang berbeda denganmu.”
“Oh, ya? Masa sih?”
“Eye shadow, eye liner, blush on plus mascara! Wow, kamu kelihatan cantik. Sedang jatuh cinta?” goda Janne usil.
Cora melirik dinding kaca di sisi kanannya. Sebentuk wajah “biasa saja” dengan rambut pendek sebatas leher terpantul di sana. Hidung tempat bertenggernya kacamata itu tak bisa dibilang mancung. Bibir tipisnya dipoles lipstick berwarna peach. Sapuan make up tipis samar menghiasi wajahnya. Dibanding Janne, wajahnya jauh dari menarik.
“Mungkin ada teman kantor yang iseng…” ucap Cora ragu. Ia tak dapat mengingatnya dengan pasti. Tidak sekarang. Besok ia akan menanyakannya pada rekannya sesama accounting.