[caption id="attachment_363026" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber Foto: kaskus.co.id"][/caption]
***
Orang-orang desa ini menyebutnya jembatan demokrasi. Titian yang menghantarkan mereka menuju desa seberang. Meski demikian, tak banyak penduduk desa yang menggunakannya. Entah mengapa, mereka hanya melintasinya bila akan menetap di desa itu. Itulah kabar yang kudengar sebelum aku tiba di desa ini.
Ketika aku menanyakannya pada ibu pemilik warung tempatku singgah pagi ini, ia malah memandangku dengan tatapan aneh. Seolah-olah pertanyaanku−tidak pada tempatnya.
“Kamu orang baru di sini?” tatapnya penuh selidik.
Dipandang sedemikian rupa, membuatku gelagapan. Akhirnya, aku hanya mampu menganggukkan kepala.
Baru tadi pagi aku tiba. Orang-orang biasa memanggilku pengelana. Mungkin karena aku tak pernah menetap lama di suatu tempat. Sebenarnya, jiwaku yang mengajakku pergi memenuhi panggilan angin. Bila terlalu lama pada situasi yang sama membuatku gelisah. Jenuh selalu mengikatku, dan aku─ingin lepas darinya.
Kuputuskan untuk melihat jembatan itu nanti. Perutku sekarang berontak. Aku perlu mengisinya barang sesuap nasi. Baru saja hendak menyuap suapan pertamaku, seorang lelaki paruh baya duduk di sampingku. Menatapku dengan pandangan ingin tahu.
“Anak Muda, kapan kamu tiba di sini?” tanyanya padaku.
Tatapan matanya hangat dan dalam. Rasanya aku pernah melihat mata itu. Mungkin terlalu banyak tempat yang telah kusinggahi.Sungguh sulit untuk mengingatnya. Mungkin juga hanya perasaanku saja. Entahlah…
“Baru tadi pagi, Pak,” jawabku seperlunya saja.
Kulanjutkan suapanku dan mengunyahnya perlahan. Lelaki itu sesekali mencuri pandang ke arahku. Sambil melinting tembakau dengan kertas ia bersenandung. Lalu ia menghisap hasil karyanya dengan nikmat. Kepulan asap memenuhi udara di sekitarku. Biasanya, aku tak menyukainya. Tapi kali ini, aku sama sekali tak terganggu dengan itu.
Suapanku berakhir. Sepiring nasi telah berpindah mengisi lambung. Secangkir kopi kuseruput dalam-dalam. Letih perjalananku seketika berpindah ke dalam cangkir. Mengusir pergi rasa penat yang mendera tubuh.
Kuamati sekilas orangtua di sebelahku. Barngkali ia bisa menjawab keingintahuanku.
“Maaf, Pak. Saya ingin tahu soal jembatan yang berada di ujung desa. Bapak bisa membantu?” tanyaku padanya.
Ia terkekeh. Menampakkan sederet gigi yang tak lagi utuh. Mungkinkah ia menganggap pertanyaanku barusan lucu?
“Anak Muda, Bapak jadi ingat masa-masa muda dulu. Selalu ingin tahu, sama sepertimu.”
Spontan aku ikut tertawa. Rupanya lelaki paruh baya ini orang yang ramah.
Ia menghisap tembakau lintingannya, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Hening sejenak. Aku menanti dalam diam.
“Bapaklah orang yangmembangun jembatan bambu itu.”
Sungguh aku tak menyangka. Betapa beruntungnya aku, berhadapan langsung dengan sang pembuat jembatan. Hatiku melonjak gembira.
Mata tua itu menerawang lalu berkisah, “waktu itu desa ini sedang dilanda paceklik berkepanjangan. Orang-orang desa saling bertengkar satu sama lain demi setetes air. Suasana nyaris tak terkendali. Tokoh-tokoh desa tak bisa berbuat apa-apa...”
Kisah yang mengalir selanjutnya membuatku sepenuhnya menaruh hormat pada lelaki paruh baya itu. Saat desa ini dilanda kekeringan, desa seberang malah berlimpah air. Sayang, kedua desa dipisahkan jurang yang teramat dalam. Tapi lelaki paruh baya itu seorang pejuang sejati. Di saat semua penduduk desa menyerah, ia berjuang sendirian. Membuat jembatan bambu untuk menuju desa seberang. Orang-orang desa seberang yang melihat kegigihannya akhirnya turut membantu. Meski menelan waktu cukup lama, jembatan sederhana itu akhirnya rampung juga.
“Selanjutnya apa yang terjadi, Pak?” tanyaku menuntaskan rasa ingin tahu.
“Lebih dari separuh penduduk desa ini berpindah ke desa seberang. Terutama orang-orang muda. Mereka menemukan kehidupan yang baru di sana dan tak pernah lagi kembali. Sesekali, mereka berdiri di ujung jembatan dan memandang ke arah desa ini. Kami cuma saling tersenyum dan melambaikan tangan…”
“Mungkin mereka merindukan asal mereka,” cetusku menebak.
“Bisa jadi. Tapi… mereka tak ingin kembali.”
Kisah itu membuatku tercenung. Namun… ada sesuatu yang menggelitik pikiranku.
“Lalu… mengapa sang pembuat jembatan malah tak ikut menyeberang?” kejarku penasaran.
Lagi-lagi ia terkekeh. “Harus ada yang berada di sini.Mungkin suatu hari nanti, penduduk desa kembali butuh pertolongan…”
Aku tertegun. Sungguh mulia hatinya. Bersedia menjadi penjaga desa ini dan mengabaikan dirinya sendiri...
“Lalu.. mengapa orang-orang desa menamakannya jembatan demokrasi?”
Lelaki paruh baya itu menatapku lama sebelum menjawab, “karena jembatan itu mengantarkanmu pada pilihan. Pergi atau tetap tinggal di desa ini. Kamu dan pilihanmu sendiri. Tak ada yang lain.”
Mendengar ucapannya, aku tersenyum. Kalimat itu seakan membebaskanku. Hanya ada aku dan pilihanku. Tak ada yang lain.
Kami menghabiskan pagi sambil berbincang. Ragam petuah yang kudapat dari sosok tua bijaksana itu memperkaya batinku. Menjelang siang, ia mengantarku untuk melihat jembatan itu.
***
Malam mulai beranjak larut. Sedari siang, benakku dipenuhi pikiran dan tanya. Jiwaku mulai gelisah. Sepertinya angin terus memanggilku untuk berangkat ke desa seberang. Bayangan jembatan itu terus mengusikku. Jembatan bambu yang terlihat ringkih dan tak sepadan dengan usianya. Mungkin cuaca yang menggerusnya. Entahlah, lelaki tua penciptanya tak mampu menjelaskannya padaku.
Bergegas aku beranjak dari pos ronda. Tempatku merubuhkan tubuh letihku malam ini. Cahaya rembulan bersembunyi malu nyaris tersaput pekat. Langkahku perlahan diterangi redup cahaya senter. Baru saja melewati rerimbunan bambu, suara riuh terdengar dari ujung desa.
Setengah berlari aku menuju jembatan. Sungguh aku terkejut. Orang-orang desa telah berkerumun di sana. Bunyi kentongan bertalu-talu. Cahaya obor memantulkan wajah-wajah bingung, marah, dan putus asa. Sebagian malah menangis histeris. Suasana riuh tak terkendali.
“Jembatan telah rubuh! Penghubung pada pilihan telah lenyap!” Seorang warga menjerit kuat-kuat.
“Kita kehilangan pilihan kita,” tangis orang-orang desa meratap. Mereka berangkulan saling menguatkan. Tapi jauh di dalam hati, harapan mereka telah lenyap...
Semua orang mulai menangis. Mereka telah kehilangan harapan. Kehilangan pilihan. Tepat di pangkal jembatan, sang pembuat jembatan tertegun menatap lurus ke depan. Menatap jembatan yang telah runtuh, ambruk ke dasar jurang.
***
Samosir, 1 Oktober ’14 (Tepian DanauMu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H