[caption caption="Sumber ilustrasi: nationswell.com"][/caption]
Minggu ketiga (terinspirasi lagu)
Sebentar lagi langkah-langkah mungil Jessica akan terdengar. Sehabis minum teh, gadis kecil itu selalu kembali ke kamarnya. Itu dia. Rambut hitamnya mengilat, seperti sepatu ayahnya yang disemir setiap pagi. Gadis kecil itu tersenyum, mempertontonkan gigi depannya yang tanggal satu. Jemari mungilnya membuka kotak mainan. Setumpuk boneka. Boneka-boneka itu dideretkannya di atas meja.
Boneka terakhir yang dikeluarkannya adalah Marry. Boneka terbaru. Ibunya membelikan boneka putri bermata biru itu kemarin. Jessica menyisir rambut keemasan Marry sambil bersenandung riang. Caroline mendadak masuk dengan nafas terengah-engah.
“Belum terlambat, kan? Ibu tak mengizinkanku pergi sebelum menghabiskan teh,” sungutnya lalu mengempaskan tubuh di samping Jessica.
“Kau datang pada waktu yang tepat,” gumam Jessica.
“Syukurlah…”
Aku tak menyukai Caroline. Teman Jessica itu memperlakukan boneka dengan kasar. Berbeda dengan Jessica. Bila cemberut, wajahnya yang berbintik-bintik itu terlihat mengerikan.
Kedua gadis cilik itu memulai pertunjukannya. Jessica menjadikan Marry ratu panggung. Seluruh boneka mengelilingi Marry dan memuja kecantikannya. Caroline menggerak-gerakkan boneka pangeran untuk menarik perhatian sang putri. Mereka berdua lalu tertawa cekikikan.
Oh, tidak! Caroline menatapku. Sinar matanya dipenuhi kebencian dan membuatku merasa cemas. Benar saja. Caroline merenggutku lalu memasukkanku ke dalam tong sampah.
“Harusnya kau membuang boneka jelek ini dari dulu,” ujar Caroline pada Jessica. Mereka pun meneruskan pertunjukan.