Katamu, pulang tak melulu soal melabuhkan rindu. Titik-titik cahaya di dermaga itu mengundang keraguanmu. Membuatmu berpikir, apakah mereka masih ada untukmu? Barangkali mereka mulai jenuh seiring malam-malam yang menggulirkan waktu. Mungkin pula ingin meredup bersama kata-katamu yang menua dalam ingatan. Kau terus bertanya-tanya, sebelum langkahmu terayun menuju pulang.
Sekarang kau berada di sini. Di dermaga yang kini terasa asing bagimu. Meski titik-titik cahaya itu semakin benderang, kau dirundung hasrat untuk menelusuri jejak-jejak bisu. Kau terus memutari dermaga dan mencari-cari dalam belantara malam. Kau gigih bertengkar dengan batinmu: jejak itu hanya terselip, bukannya lenyap dan melupakanmu.
Sementara malam bertahta dalam kemegahannya, rautmu semakin letih. Garis-garis kerut di dahimu kian dalam dan sepasang matamu layu. Mimpi-mimpi lalu mengkhianati kedua pelupuk matamu. Namun, kau masih ingin bertahan hingga kapal terakhir pulang. Hingga titik-titik cahaya yang mengundangmu satu persatu  padam dan kau merasa sendirian.
Saat ini, aku benar-benar ingin menghampirimu. Aku berniat menepuk-nepuk pundakmu dan menyenandungkan beberapa lagu untukmu. Mari, kita duduk di tepi dermaga dan minum bercangkir-cangkir kopi. Ya, itulah yang akan kukatakan padamu. Kau boleh berceloteh tentang kepulanganmu yang sia-sia. Oh, silakan saja. Tapi aku hanya akan menyampaikan ini padamu: itulah rindu, Tuan, rindu yang memanggilmu pulang dan berlabuh di dermaga.
***
Tepian DanauMu, 24 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H