Seekor anjing dan kucing bertengkar hebat dalam pikiran Tarjo. Hal itu bermula ketika ia menonton berita tentang ledakan yang terjadi di pusat kota pagi tadi. Korban dalam peristiwa itu adalah sebuah boneka. Saat menyaksikan serpihan-serpihan boneka itu berhamburan dan melayang di udara, Tarjo merasa seseorang telah mendorongnya jatuh ke dalam jurang kepedihan tak terperi.
Tarjo mematikan televisi dan memutuskan untuk makan siang. Ia lantas menatap hidangan di atas meja: sepiring dendam, secangkir kebencian dan semangkuk amarah yang menyala-nyala. Tega sekali mereka melakukan kekejaman itu pada sebuah boneka―terlebih di depan matanya―dalam sebuah layar berukuran 21 inci. Sungguh kejahatan keji yang tak termaafkan. Selera makan Tarjo menguap seketika.
“Pssst... diamlah!” Tarjo menghardik suara berisik yang berasal dari kepalanya. Cakaran, suara kucing, salak anjing, dan geraman yang saling bersahutan membuat telinganya ngilu. “Kalian membuatku gila!” jeritnya kesal.
Karena tak tahan lagi, Tarjo bergegas menuju kamar mandi dan membenamkan kepalanya ke dalam bak penuh berisi air. Ia mengeluarkan kepalanya kembali secepat ia membenamkannya. Rambutnya kuyup. Namun rasanya sungguh lega. Menyegarkan. Semoga saja suara berisik itu segera punah. Mungkin hari ini otaknya kelebihan muatan persoalan, sehingga pikirannya melantur tak tentu arah tujuan. Tak salah lagi. Pasti itu penyebab keganjilan yang ia alami.
“Guk!”
Tarjo terlompat. Mengapa suara itu terdengar lagi? Semoga kali ini suara itu berasal dari sekitar rumah. Tarjo membuka pintu lalu keluar. Tetesan-tetesan air kini turun membasahi bajunya. Sepasang matanya berkeliling mencari-cari. Tak ada kucing, apalagi anjing. Sama sekali tak terlihat apa-apa. Lantas, berasal dari mana suara barusan?
“Meong!” Suara cakaran terdengar menggores dinding. Tarjo spontan menutup telinganya dengan telapak tangan.
“Diam kalian!” hardik Tarjo pada suara berisik yang berkerumun dalam pikirannya. Sialan, suara itu lagi-lagi berasal dari kepalanya.
Brakkk! Suara pintu dibanting terdengar memekakkan telinga. Tarjo menutup pintu dengan sekuat tenaga. Kening Tarjo berkerut. Ia melemparkan tubuhnya ke sofa dan menyalakan televisi hingga volume maksimal. Mencoba mengakhiri masalah dari pangkal persoalan. Keyakinan itu tiba-tiba tumbuh subur dan mengoyak kesadaran dalam benak Tarjo.
Televisi masih menayangkan berita yang sama. Orang-orang bercerita tentang kronologis kejadian dan ketakutan mereka atas peristiwa itu. Tayangan puing-puing, siaran ulang ledakan, dan... Tarjo menahan nafas. Bumm! Serpihan-serpihan boneka itu melayang ke udara. Ia menggigit bibir bawahnya. Serpihan-serpihan itu terus melayang di udara. Air mata merembes di sudut matanya.
“Grrrr... Guk! Meong!”