Marry tersentak dari mimpinya ketika suara keras terdengar dari ruang tengah pagi ini.
“Sedikit lagi! Aduh, nyaris saja!”
Jam di dinding menunjukkan pukul lima dini hari. Masih terlalu pagi. Tapi kelopak matanya takkan mungkin terpejam lagi. Suara suaminya dan televisi seperti suatu kegaduhan. Marry beringsut dari pembaringan sambil menguap kecil. Ia melangkah ke wastafel, mencuci muka, mengeringkannya dengan handuk lalu duduk di depan meja rias. Saat menyisir perlahan rambut ikal sebahunya yang kusut, ia mengingat sesuatu dan tersenyum.
Saat keluar dari kamar, Marry mendapati suaminya sedang serius menonton pertandingan di layar kaca. Klub bola kesayangan lelaki itu sedang berlaga. Cangkir dan piring kotor berserakan di atas meja. Remah-remah biskuit dan popcorn berceceran di lantai. Ruben−suaminya, mengenakan piyama biru muda bercorak cemara dengan kancing atas terbuka. Meski mata lelaki itu berkantung, namun semangatnya seperti banteng yang siap menyeruduk lawan.
“Ya! Teruskan! Oper!” Saat berteriak, popcorn di mulut lelaki itu berhamburan.
“Kau belum tidur semalaman. Seru sekali, ya?” Marry duduk di samping suaminya.
“Ini babak penentu, Sayang,” suaminya menjawab tanpa menoleh, ”nasib mereka tergantung hari ini.” Lelaki itu mengambil cangkirnya. “Sial, kopiku habis. Bisakah kau...”
“Tunggu sebentar, kubuatkan,” potong Marry lalu bergegas menuju dapur. Ia memasukkan kopi dan air ke dalam mesin pembuat kopi dan menyalakannya. Sejenak kemudian, Marry hilir mudik memasukkan roti tawar dalam pemanggang, mengambil mentega, selai dan piring dari lemari. Aroma harum memenuhi seisi dapur. Terlalu dini untuk sarapan. Tapi ia merasa lapar dan bersemangat.
Saat kembali ke ruang tengah, suaminya bersandar di sofa dengan wajah lesu. “Lihatlah, aku sudah membuatkanmu kopi dan sarapan.” Marry bersikap riang sembari meletakkan baki di atas meja−tepat di depan suaminya, “Tiba-tiba aku merasa lapar dan kupikir...”
“Sudah tamat, Sayang. Mereka tak punya harapan lagi,” cetus suaminya murung.
Marry melihat ke layar televisi. Pertandingan usai. Kekalahan. “Sudahlah,” ia berusaha menyemangati suaminya, “masih ada kompetisi berikutnya,” hiburnya. Ia ingin agar suaminya riang kembali. “Minumlah kopimu selagi hangat.”