Saat Kalila menemukan seekor kecoak mati terkapar pagi ini, kesedihan tiba-tiba merayapi hatinya. Ia membayangkan, kecoak itu pasti menggelepar-gelepar kesakitan sebelum maut menjemputnya di sela-sela kaki meja dan kursi. Bulir-bulir air mata berdesakan di pelupuk matanya, lalu meluap dan menuruni sepasang pipi tirusnya. Gadis itu tersedu-sedu.
Kalila bersimpuh, lalu meratapi kecoak itu penuh duka. “Oh... sungguh malang dirimu. Gara-gara keteledoranku, ajal datang menjemputmu.” Selepas itu, ia pun menguburkan kecoak malang itu di belakang rumahnya.
Sesal menumbuk-numbuk hatinya. Pembasmi serangga itu. Seharusnya, ia tak membabi buta menyemprotkannya ke segala penjuru. Musuh besarnya cuma nyamuk. Kenapa pula ia harus mengorbankan seekor kecoak? Pertanyaan itu menggerogoti batinnya ketika mengamati korbannya, seekor hewan rapuh yang mati sia-sia akibat rasa gatal yang menggila di betisnya. Malam pergantian tahun tak seharusnya diramaikan oleh serangan nyamuk.
Seharian, Kalila menceritakan kesedihannya kepada orang-orang yang ditemuinya. Aku adalah pembunuh. Kalimat itu berulang-ulang meluncur dari bibirnya. Sebagian besar orang-orang yang mendengarkannya keheranan lalu bertanya kepadanya: apa yang harus disesali dari kematian seekor kecoak? Ia mengembuskan napas berkali-kali dengan wajah muram. Hati-hati orang-orang telah berubah menjadi batu. Mereka tak mampu lagi merasakan duka. Lalu... kepada siapakah ia harus bercerita?
Kalila menyusuri trotoar, persimpangan, dan berhenti di sebuah taman. Pandangannya tertuju pada bangkai seekor kucing yang teronggok di sebelah tong sampah. Ia berjalan mendekatinya. Kesedihannya kian berlipat-lipat. Kematian. Lagi. Seorang pembunuh-sama sepertinya-mungkin sedang berkeliaran di sekitar sini. Kalila mengabaikan kemungkinan kematian disebabkan makanan sisa beracun dari tong sampah atau penyakit. Tidak, kucing itu pasti mati karena dibunuh, sama seperti kecoak di rumahnya.
“Oh, kucing... malang nian nasibmu.” Kalila terisak. Ini tahun baru. Seharusnya ia menyaksikan rupa-rupa sukacita, bukan terperosok dalam kepedihan tak tertahankan. Suara berdengung. Lalat-lalat mulai beterbangan di sekitar bangkai. Kalika mengibas-ngibaskan tangannya. “Pergilah! Kalian tak berhak!” hardiknya marah.
Orang-orang yang berada di sekitarnya menegurnya. Tapi Kalila tak menggubrisnya. Tiada guna berbicara dengan orang-orang berhati batu. Mereka takkan mengerti derita hatinya. Kalila menggendong bangkai kucing itu pulang. Ia akan menguburkan kucing di samping kecoak. Ia telah bersalah membunuh seekor kecoak menguburkan bangkai kucing mungkin akan meringankan beban hatinya.
Sesampainya di rumah, Kalila tergesa-gesa menuju halaman belakang. Ia tersentak. Gundukan kecil tadi pagi telah lenyap, berganti dengan lubang kecil melompong-tanpa kecoak di dalamnya. “Ke mana perginya kecoak itu?” jerit Kalila. Ia mencari berkeliling seperti orang gila dan menggunakan jemarinya untuk mengais-ngais permukaan tanah. Di sini- tidak-di sana. Ah, barangkali ia salah mengingat tempat. Ujung-ujung kukunya berubah kehitaman, namun kecoak itu tak kunjung ditemukan.
Tubuh Kalila merosot di atas tanah dan mengeluh pada bangkai kucing di sisinya. “Oh, kucing... kecoak telah lenyap. Aku tak tahu lagi harus mencarinya ke mana...” Kalila berhenti sesaat, ia nampak ragu-ragu melanjutkan, “pagi ini... aku telah menjadi seorang pembunuh...” Hari pertama tahun ini telah beranjak menua saat Kalila mulai menuturkan kesedihan hatinya.
***
Tepian DanauMu, 1 Januari 2017