"Kita ada di mana?" tanyaku cemas. Saat aku menoleh ke belakang, pintu telah tertutup. Secepat kilat kabut merah menutupi penglihatanku. Selain wajah lelaki itu, aku tak dapat melihat apa-apa. Seisi rumahku seolah-olah lenyap. Padahal, aku yakin kami masih berada di dalam rumah.
"Tentu saja di rumahmu. Sebentar lagi kabut ini akan lenyap dan kau akan melihat lebih jelas," jelas lelaki itu. Ia menepuk pelan pundakku kemudian berkata, "Jangan cemas, dengarkan saja kata-kataku."
"Mendengarkanmu? Aku bahkan tak tahu namamu," ungkapku terus terang.
"Panggil aku Kalm dan percaya saja padaku," jawabnya tenang.
Saat Kalm menoleh padaku, aku terkejut. Sesuatu yang menyerupai sisik menempel di tengah kedua alisnya yang menyatu. Warnanya jingga terang. Padahal, sisik itu tak terlihat sebelumnya. Helaian keperakan mendominasi rambut ikalnya yang menyentuh bahu. Padahal, menurut taksiranku, lelaki itu masih berusia sekitar tiga puluhan. Namun, itu hanyalah perkiraanku. Dalam situasi saat ini, apa yang terlihat mungkin bukanlah yang sebenarnya.
"Entahlah," jawabku ragu sambil mengamati kabut merah yang berangsur-angsur sirna. Perlahan, aku mulai dapat melihat hal-hal di sekelilingku lebih jelas. Hingga tiba-tiba aku merasakan permukaan bergelombang di bawah sandal tipis yang kukenakan. Aku sedang menginjak tanah berbatu. Beberapa di antaranya bergulir jatuh. Ya, Tuhan! Aku berdiri tepat di bibir sebuah kawah yang mengepulkan uap panas!
"Hati-hati!" seru Kalm sambil menahan tubuhku yang terhuyung ke belakang. "Persiapkan dirimu. Masih banyak hal-hal baru yang sedang menantimu." Setelah menegakkan tubuhku kembali, Kalm berkata, "Selamat datang di duniaku. Kita masih berada dalam rumahmu. Tepatnya, di dimensi yang berbeda."
"Tidak mungkin, ini pasti mimpi burukku yang lain. Semua ini tidak nyata, kan?" Aku menggelengkan kepala. "Ini cuma mimpi. Aku sedang berbaring di kamarku dan...."
"Kau tidak sedang bermimpi. Ingat soal mimpi dan bayang-bayang yang selalu mengejarmu? Mereka berasal dari sini. Duniaku. Semua yang kau alami semuanya memiliki alasan," jelas Kalm. Sepasang mata lelaki itu menyiratkan kekhawatiran, "Kita harus segera menjauhi kawah ini. Kaum peziarah akan tiba. Kau pasti tidak mau bertemu mereka."
Sulit bagiku untuk mencerna setiap kata yang Kalm ucapkan. Namun, saat ini aku tak punya pilihan selain mengikutinya. Aku sendirian di dunia asing ini dan Kalm adalah satu-satunya orang di sekitarku. Setelah menggelung rambutku yang kusut, aku bertanya pada lelaki itu, "Jadi, kita akan pergi ke mana?"