Beberapa waktu yang lalu, jagat Twitter heboh lantaran warganet ramai membahas dugaan kasus kekerasan seksual yang dilakukan ayah kandung terhadap ketiga putri kandungnya, Kasus yang terjadi pada tahun 2019 lalu di Luwu Timur, Sulawesi Selatan itu kembali ramai diperbincangkan lantaran sebuah situs (projectmultatuli.org) merilis laporan kasus tersebut dengan judul "Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi, Polisi Menghentikan Penyidikan."
Kabar ini juga memancing reaksi istana. Deputi V Bidang Politik, Hukum, Hankam, HAM, dan Antikorupsi, Jaleswari Pramodhawarni menyampaikan keprihatinannya pada hari Jumat (8/10/2021). "Perkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak (merupakan) tindakan yang sangat serius dan keji. Tindakan tersebut tidak bisa diterima oleh akal budi dan nurani kemanusiaan kita. Terlebih lagi bila yang melakukan adalah ayah kandungnya. Oleh karena itu pelakunya harus dihukum berat," tegasnya.(kompas.com, 9/10/2021)
Hingga hari ini, kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak masih kerap terjadi. Padahal, kesadaran tentang perlindungan anak sudah tumbuh di berbagai negara sejak puluhan tahun yang lalu. Pada tanggal 20 November 1989, Majelis Umum PBB telah mengesahkan Konvensi Hak Anak. Hari bersejarah itu kemudian disahkan sebagai Hari Anak Sedunia. Pemerintah Indonesia turut menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 26 Januari 1990 dan meratifikasinya pada tanggal 5 September 1990 melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990.
Bila dikaitkan dengan UUD Negara R.I., penandatanganan dan ratifikasi ini selaras dengan bunyi pasal 28B ayat (2) yang berbunyi: "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi." Hingga saat ini, semangat perlindungan anak dari kekerasan seksual masih terus digaungkan dan telah dituangkan dalam berbagai regulasi di Tanah Air.
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Regulasi terkait perlindungan anak yang pertama kali ditetapkan di Indonesia adalah UU 23/2002. Adapun yang dimaksud perlindungan anak dalam UU ini adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam UU ini, perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Bila dikaitkan dengan kekerasan seksual terhadap anak, maka hal yang perlu digarisbawahi dalam UU ini adalah bahwa setiap anak yang menjadi korban berhak dirahasiakan dan berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Anak korban kekerasan seksual mendapat perlindungan khusus yang meliputi: a) penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan b) dan pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.
Menurut UU ini, setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan. Pasal 81 dalam UU 23/2002 berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)."
Selain itu, dalam Pasal 82 dikatakan: "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)."
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Perubahan UU 23/2002 dianggap perlu karena karena dianggap belum efektif untuk melindungi anak dari kekerasan seksual. Lahirnya UU 35/2014 adalah untuk memberikan pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak. Hal ini untuk memberikan efek jera serta mendorong langkah konkrit pemulihan fisik, psikis, dan sosial bagi anak korban kejahatan.
Salah satu perubahan yang terdapat dalam UU ini menyorot perlindungan anak dalam lingkungan pendidikan. Hal ini termuat dalam Pasal 9 ayat (1a) yang berbunyi: "Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain."
UU ini menegaskan kewajiban dan tanggung jawab negara, pemerintah, dan pemerintah daerah dalam menghormati pemenuhan hak anak. Salah satu kebijakan untuk menjamin pemenuhan hak anak tersebut dilakukan melalui upaya daerah membangun kabupaten/kota layak anak. Pasal 15 UU ini juga menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual.
Pasal 76D menyebutkan: "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain." Setiap orang yang melanggar ketentuan ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Kemudian, dalam Pasal 76E disebutkan: "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul." Pelaku diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Meskipun UU 35/2014 hadir untuk memberikan efek jera, tapi pada kenyataannya belum mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Hal inilah yang menjadi pertimbangan presiden untuk kemudian menetapkan Perppu 1/2016 pada tanggal 25 Mei 2016.
Salah satu perubahan dalam Perppu ini termuat dalam Pasal 81 ayat (3-4), yaitu ketentuan penambahan 1/3 hukuman bagi pelaku yang semula hanya bagi orang terdekat, yaitu orangtua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan, ditambah dengan orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari dari satu orang secara bersama-sama dan juga pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D UU 35/2014.
Dalam Perppu ini, pemerintah menambah pidana pokok berupa pidana mati, pidana seumur hidup, serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Pemerintah juga menambahkan mengenai tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Semua ini untuk mewujudkan jaminan dan perlindungan terhadap anak.
UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU
Karena negara perlu mengambil langkah-langkah yang optimal dan komprehensif dengan tidak hanya memberikan pemberatan sanksi pidana, juga menerapkan bentuk pencegahan (preventif) dengan memberikan tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, maka presiden menetapkan Perppu 1/2016. Setelah mendapat persetujuan dari DPR, Perppu tersebut kemudian disahkan menjadi UU pada tanggal 9 November 2016.
PP No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak
Banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak telah mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan melindungi anak dari kekerasan seksual dalam bentuk persetubuhan dan pencabulan dengan hukuman yang lebih tegas melalui PP 70/2020. PP ini memuat ketentuan tindakan kebiri kimia, tindakan pemasangan dan pelepasan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, pengumuman identitas pelaku, pendanaan dan pengawasan.
Dalam PP ini, yang dimaksud dengan tindakan kebiri kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi.
Bila tindakan kebiri kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dikenakan terhadap pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan rehabilitasi dikenakan terhadap pelaku perbuatan cabul berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Tindakan kebiri kimia dilakukan melalui tahapan penilaian klinis, kesimpulan dan pelaksanaan. Tindakan kebiri kimia tersebut dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan pelaku anak tidak dapat dikenakan tindakan kebiri kimia dan tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Sumber: SATU
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H