Mungkin saya terbilang kompasianer lawas di Kompasiana meskipun banyak yang lebih dahulu bergabung ketimbang saya. Tercatat, tanggal 18 Juli 2013 saya memulai kiprah di platform ini dan pernah meraih penghargaan sebagai "Best in Fiction" pada perhelatan Kompasianival tahun 2016. Di platform ini pula saya berkenalan dan berinteraksi dengan kompasianer dari berbagai wilayah di Indonesia hingga mancanegara. Untuk pengalaman berharga ini, saya tak lupa mengucapkan terima kasih, khususnya kepada founder platform yang mengusung jurnalisme warga ini.
Sesekali, dari kanal fiksiana yang cenderung sunyi dari ingar bingar, saya mengamati dinamika  penghuni dan muatan platform yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Selama saya bergabung dan sesekali jeda karena kesibukan pekerjaan atau hal lainnya, saya menjadi silent reader kanal politik. Kanal ini memang terbilang komplet menyediakan berbagai informasi aktual karena mencakup birokrasi, hukum, keamanan, hingga pemerintahan.
Harus diakui, kanal politik menjadi salah satu penyumbang pembaca terbesar di Kompasiana hingga saat ini. Isu-isu terbaru di kanal ini menjadi hal yang dinantikan tidak hanya oleh para pembaca setia, melainkan juga oleh para kompasianer yang memantau perkembangan kanal ini. Sejumlah isu terbaru memang dikemas dan disajikan dengan apik oleh sejumlah kompasianer di kanal ini, sehingga tak jarang disajikan ulang oleh media online atau dikutip dengan menyebutkan penulis aslinya.
Hal ini jelas menunjukkan kanal ini masih "bertaring" seperti kejayaannya di masa lalu. Sekadar mengajak bernostalgia, saya masih ingat betul sejumlah kompasianer lawas yang tulisannya meraup jumlah pembaca yang fantastis. Sebut saja kompasianer Pakde Kartono atau Ellen Maringka. Terlepas dari kontroversi atau pemberitaan seputar keduanya, artikel-artikel politik mereka terbukti telah menjadi "barometer" kehangatan sebuah isu politik yang mereka angkat.
Sering kali sejumlah artikel senada dengan penyajian dan/atau perspektif yang berbeda akan muncul kemudian. Fenomena yang kerap terjadi ini akhirnya berhasil mengukuhkan isu tersebut sebagai topik utama yang menjadi perhatian masyarakat luas bahkan media. Ini merupakan rekam sejarah yang menurut saya tidak boleh dilupakan begitu saja oleh pengelola Kompasiana saat ini.
Tidak hanya keduanya, hingga saat ini masih banyak kompasianer yang menyumbang artikel bernas di kanal ini. Saya tidak akan menyebutkan sejumlah nama kompasianer lain, tapi silakan saja sahabat kompasianer dan pembaca yang budiman mengamati dinamika kanal yang satu ini. Artinya, artikel-artikel dari kanal ini masih perlu mendapat perhatian, khususnya untuk menduduki slot tayang feature dan headline.
Mengapa saya menyebutkan soal slot tayang? Kembali ke judul artikel ini, menurut pengamatan saya, saat ini Kompasiana sedang memasuki "New Era" yang cenderung serupa dengan platform-platform lainnya. Sebagai pembaca sekaligus kompasianer, saya sering menemukan kesamaan dalam judul-judul artikel utama (headline) di Kompasiana, yaitu seputar tips dan cara. Era yang satu ini memang sedang menjadi tren media internet saat ini. Malangnya, tren ini juga kerap ditunjukkan saran penelusuran google di layar ponsel android saya.
Hal ini tentu menjadi kendala bila harus diterapkan dalam penulisan artikel di kanal politik alias kurang pas. Lantas, apakah karena ini pula, artikel bernas yang ditulis dengan tujuan memberikan informasi aktual di kanal politik semakin jarang diberikan slot headline atau feature? Bukankan dari awal platform ini memang menyediakan ruang seluas-luasnya untuk menampung berbagai pemikiran sehingga menyediakan banyak kanal sebagai pilihan untuk berkontribusi?
Ini bukan pertama kalinya kompasianer mengungkapkan keresahan tentang "New Era" di Kompasiana. Salahkan saya, tapi berikan juga data valid bila saya keliru membaca tentang dua slot yang saat ini didominasi ragam tips dan cara. Namun, tentu saja saya tidak bisa memaksakan kehendak kepada pihak pengelola untuk mengubah selera kurasi dalam pemilihan artikel untuk bertengger di dua slot bergengsi itu. Pengelola pasti punya pertimbangan, sehingga memilih untuk mengikuti tren dan ini memang cukup masuk akal.
Hanya saja, memilih untuk menjadi sama dengan platform lain juga memiliki risiko tersendiri. Perlu diingat, pembaca di Tanah Air sangat majemuk. Mereka memiliki minat, budaya baca, dan tingkat pendidikan yang beragam. Saya yakin, masih banyak pembaca yang merindukan artikel-artikel bernas di kanal politik Kompasiana. Belum lagi pembaca yang merasa jemu karena terus-menerus disuguhi artikel bermuatan tips dan cara di berbagai platform. Lagipula, apakah era tips dan cara itu akan abadi selamanya? Lalu, ketika era itu berakhir dan pembaca telanjur beralih ke platform lain, apakah tidak akan terlambat?
Salam hangat dari Kompasianer Medan