Sebuah huruf yang keliru tiba di kotamu hari ini. Saat menerimanya, benakmu melahirkan serangkaian kalimat yang diakhiri dengan tanda tanya.Â
Bagimu, meskipun huruf itu tiba dengan selamat di alamat yang tepat, sebuah huruf yang keliru bisa bermakna suatu pertanda atau kemungkinan. Kau menduga kekeliruan itu mungkin disengaja oleh pengirimnya agar kelak menjadi perbincangan yang hangat dalam sebuah perjumpaan.
Kau meletakkan huruf yang keliru itu di atas meja perlahan dan memandang ke luar jendela. Saat melirik kalender tak sengaja, kau menyadari bulan keenam tahun ini telah tiba.Â
Langit terlihat sama seperti hari-hari sebelumnya dan senja baru saja akan memamerkan pesonanya. Sisa kehangatan matahari sedang bercengkerama dengan udara dan tetes-tetes hujan masih menyisakan jejak di tanah yang lembap.
Benakmu mulai mengembara. Sebuah huruf yang keliru itu mungkin sedang merindukan huruf lainnya dan ingin segera pulang. Bagaimanapun, sebuah huruf memerlukan kehadiran huruf lain yang akan melengkapinya dan memberinya makna. Kau membayangkan suatu ketika nanti huruf itu akan lebur dalam sekumpulan kata yang bercerita tentang kisah bahagia.
Sebagai pemilik senja paling tabah di kotamu, akhirnya kau memutuskan untuk menerima huruf yang keliru itu dengan lapang dada dan mendekapnya dengan doa. Sebuah harapan kau simpan rapi bersama huruf itu dan kau membungkusnya dengan ketulusan. Kau abaikan kecemasan tentang kemungkinan huruf itu akan sirna dan meninggalkan lubang kenangan yang teramat dalam.
Kemudian kau terkenang seorang perempuan yang kau temui di bawah langit mendung di bibir pantai. Angin yang bertiup kencang memorak-porandakan rambut perempuan itu dan kau kesulitan untuk melihat wajahnya. Ketika perempuan itu menyibakkan rambutnya dan menyapa, mendadak kau kehilangan kata-kata.
Pada suatu senja yang masih terpatri jelas dalam ingatanmu, perempuan itu menyerahkan sebuah huruf kepadamu. Saat itu pula dua hati sepakat untuk saling mencuri. Setiap senja di bibir pantai itu menjadi kenangan yang abadi lewat puisi dan goresan di atas kanvas. Nyaris tiada hari yang berlalu tanpa sisa senyum pada ujung hari. Hingga suatu hari, kecemasan tentang kemungkinan itu menjadi nyata. Perempuan itu sirna seperti huruf keliru yang akhirnya menemukan huruf lain yang melengkapi dan memberinya makna.
Kau mengambil huruf yang keliru dari atas meja dan menggenggamnya. Sama seperti dirimu yang hari ini membutuhkan sebuah cerita, huruf itu juga sedang membutuhkan makna. Kau tersenyum saat menatap langit senja yang semakin kelam. Ketika  kau mengucap syukur karena usiamu bertambah hari ini, kau menyadari bahwa sebuah huruf yang keliru itu tak lain adalah dirimu.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H