Apa yang ingin kuceritakan hari ini adalah kejadian yang kualami seminggu yang lalu. Sebelumnya, aku ragu untuk menceritakannya. Karena, mungkin saja kau atau mereka yang membaca cerita ini akan menganggapku sebagai seorang pembual. Bisa jadi, kau akan menganggapku gila lalu menceritakannya kepada orang-orang. Aku akan dikucilkan dan diperlakukan layaknya sampah. Kupikir, sebaiknya kuurungkan saja niatku untuk bercerita. Tolong, maafkan aku.
Kau memaksaku? Kau benar-benar ingin tahu? Baiklah, aku mencoba untuk memercayaimu. Kau mungkin tidak sepicik mereka yang membaca cerita ini. Paling tidak, aku akan mendapatkan kelegaan setelah bercerita. Namun berjanjilah, kau takkan menertawaiku. Kau cukup mendengarkan dengan saksama dan berpura-pura memahamiku, meskipun mereka yang membaca cerita ini tidak memercayainya. Karena aku tahu, sulit memercayai cerita yang akan kau dengar ini.
Aku mulai saja. Seminggu yang lalu, aku sedang merasa penat. Ideku kering seperti musim kemarau. Aku belum menulis apa pun berhari-hari lamanya. Kuputuskan untuk berjalan-jalan tanpa alas kaki di rerumputan. Seperti yang kau tahu, rumahku berada di daerah perbukitan. Aku bisa melihat gemerlap lampu kota dari kejauhan. Malam itu, aku membaringkan diriku di rerumputan itu, sambil mencari-cari rasi bintang di langit. Saat menemukan rasi bintang pemburu, aku melihat kilasan cahaya berlomba-lomba turun dari langit. Ah, rupanya hujan meteor.
Ide yang semula surut tiba-tiba meluap-luap dalam benakku. Serangkaian adegan dan cerita melintas cepat. Kupandangi kilasan-kilasan cahaya meteor di langit sambil tersenyum lega. Saat hujan meteor itu berhenti, kupejamkan mata dan meresapi ide-ide yang akan kutuliskan. Saat membuka mata, aku terkejut bukan kepalang. Aku melihat parade keajaiban turun dari langit!
Kau dapat membayangkan keajaiban apa yang kusaksikan? Akan kukatakan padamu. Aku melihat kambing-kambing tercurah dari langit! Tentu, aku bisa menebak apa yang kau pikirkan. Kau pasti mengira aku sedang bermimpi waktu itu. Awalnya, aku juga berpikir demikian. Namun, ketika aku melihat kambing-kambing itu mulai berjalan ke arahku, barulah kusadari, keanehan itu benar-benar terjadi!
Aku segera bangkit dari rerumputan dan mengucek-ngucek sepasang mataku. Semua itu mungkin tak nyata. Tapi, saat melihat kambing-kambing itu berada di sekitarku, aku harus percaya. Kejadian itu sama sekali bukan mimpi. Kambing-kambing itu merumput dan mengembik. Mengembik! Kau bayangkan saja! Entah apa yang singgah di otakku, sampai-sampai aku tidak segera lari tunggang langgang. Padahal kau tahu, aku bukanlah seorang pemberani.
Jangan tanyakan apa yang kulakukan setelahnya. Hingga hari ini, aku bahkan nyaris tak percaya dengan apa yang kupikirkan waktu itu. Aku ingin memelihara kambing-kambing itu! Konyol? Menurutku tidak. Aku hanya sedang kehilangan akal sehatku. Kambing-kambing itu berjumlah setidaknya seratus ekor! Bagaimana pengarang cerita sepertiku-aku tidak punya pengalaman berternak hewan apa pun-mampu memelihara kambing sebanyak itu?
Untung saja, hujan kambing itu tak berlangsung lama. Bila tidak, ratusan atau malah ribuan kambing akan menggunduli rerumputan di perbukitan. Aku mulai memikirkan tempat yang bisa menampung kambing-kambing itu. Sayangnya, aku tidak memilikinya. Aku tidak memiliki kandang apalagi lahan yang luas. Lalu, aku menatap daerah perbukitan di sekelilingku. Kambing-kambing itu bisa mendiaminya.Â
Rumahku terpencil, jauh dari rumah penduduk lain yang bermukim di sekitar kaki bukit. Jadi menurutku, kehadiran kambing-kambing itu tidak akan mengganggu manusia. Aku menarik napas lega dan masuk ke dalam rumah. Sepanjang malam, aku menghabiskan waktu dengan menulis beberapa cerita.
 Keesokan harinya, aku terjaga dengan mata sayu karena kantuk menjajahku. Tapi, aku harus melawan dinginnya udara pagi dan memeriksa kambing-kambing itu. Kau tahu? Kambing-kambing itu masih di sana dan sedang merumput! Iseng-iseng, aku menghitung jumlah mereka. Astaga, jumlahnya memang seratus! Persis seperti perkiraanku tadi malam. Kambing-kambing itu terlihat sehat dan gemuk. Anehnya, rerumputan terlihat masih sama seperti kemarin meski seratus kambing sudah memangsa rerumputan itu.
Saat ini, mungkin kau sama saja dengan mereka yang membaca cerita ini. Kau pasti menganggapku benar-benar seorang pembual. Tak apa, bagiku itu bukan masalah. Kau mau tahu apa yang terjadi selanjutnya? Kotoran kambing-kambing itu berserakan di rerumputan! Aku baru menyadarinya setelah menginjak kotoran itu. Sial! Sungguh-sungguh sial! Kau bisa membayangkan aroma kotoran seratus ekor kambing, bukan? Bila aku membiarkan kotoran-kotoran itu, aku akan kehilangan aroma segar perbukitan yang kuhirup setiap hari.
Aku harus melakukan pekerjaan besar. Sendirian. Untung saja aku memiliki setangkai sekop di gudang. Kotoran kambing-kambing itu sangat bau, sampai-sampai aku harus menutup hidungku dengan masker. Nah, ini bagian penting yang harus kau simak baik-baik. Saat itu sinar matahari pagi sungguh cemerlang. Langit biru cerah menaungi perbukitan.Â
Lalu... aku melihat keajaiban selanjutnya. Aku melihat kilau cahaya dari kotoran yang berada dalam sekopku! Mana mungkin cahaya berkilauan berasal dari kotoran kambing? Aku meletakkan sekopku dan berputar mengelilinginya, mencoba mengamati dari berbagai sisi. Cahaya itu masih ada! Kau pasti merasa bingung, sama seperti mereka yang membaca cerita ini. Kau bisa membayangkan bahwa aku seribu kali lebih bingung dari itu, kan?
Maka, aku memutuskan untuk memastikannya. Kotoran itu kuhancurkan dengan sekop. Agak menjijikkan, memang. Tapi, harus bagaimana lagi? Aku benar-benar penasaran. Lalu rahasia itu pun terkuak. Aku menemukan sebutir emas sebesar gundu! Luar biasa!
Jangan memandangku sinis begitu. Kau akan menyesal bila tahu bahwa semua yang kukatakan benar adanya. Kau bertanya dari mana aku tahu butiran itu emas? Aku menyentuhnya! Ketika aku menggenggamnya, butiran itu terasa berat. Aku bahkan mengabaikan fakta butiran itu berasal dari kotoran kambing. Jangan tanyakan alasannya. Warna kuning mengilat itu sungguh menggoda. Kau akan tahu bila melihatnya.
Sekarang, apa yang kau dan mereka yang membaca cerita ini pikirkan mulai seirama. Kau ingin tahu apakah ada butiran emas lainnya, bukan? Tepat. Seperti itulah yang aku pikirkan waktu itu. Aku memandangi kotoran kambing yang berserakan di rerumputan dan berpikir bahwa butiran-butiran emas lain sedang menantiku. Dapatkah kau membayangkan aku bertingkah seperti orang yang kesurupan?
Aku menghancurkan semua kotoran kambing seperti orang gila! Menakjubkan! Butiran-butiran emas itu berada dalam setiap kotoran. Saku celana dan kemejaku sarat dengan butiran emas! Rasanya sungguh berat, hingga kantungku nyaris koyak! Aku berlari ke dalam rumah untuk mengambil karung. Semua butiran emas kumasukkan ke dalam karung itu. Aku kaya mendadak, Kawan!
Aku berlari berputar-putar dan berteriak-teriak kegirangan. Kotoran kambing mengotori kaki, tangan, dan pakaianku. Tubuhku bau kotoran kambing! Peduli setan! Aku sungguh bahagia. Dapatkah kau membayangkan kebahagiaanku? Aku-pengarang miskin yang hidup sebatang kara-tiba-tiba memiliki seratus butir emas!
Lalu aku berpikir, akan kuapakan semua emas itu? Emas yang kumiliki terus bertambah setiap kali kambing-kambing itu buang hajat. Sementara itu, penghasilanku dari menulis cerita terus merosot, karena waktuku tersita untuk mengamati kambing-kambing itu. Mau tidak mau, aku harus menjual emas itu untuk membeli keperluan sehari-hari.
Maka, turunlah aku ke kota. Sengaja aku memilih toko emas kecil yang berada di pinggiran kota. Aku akan menjual sebutir emas saja agar pemilik toko emas tidak curiga pada orang miskin sepertiku. Ketika aku menunjukkan butiran emas itu kepada pemilik toko, ia tampak terpesona. Ia mohon izin untuk memeriksa emas itu. Saat ia kembali, ia mengatakan padaku bahwa itu emas murni! Â
Hatiku membuncah bahagia. Terlebih ketika pemilik toko emas menyerahkan setumpuk lembaran uang baru di telapak tanganku. Uang sebanyak itu tak pernah kumiliki seumur hidupku! Aku keluar dari toko itu dan membeli makanan dan minuman terbaik. Aku juga membeli beberapa baju baru. Ketika aku melintasi kedai terbaik, aku memutuskan untuk mampir. Selama ini, aku hanya melihat kedai itu dari luar. Aku tak pernah memiliki cukup uang meski hanya untuk memesan satu porsi menu terbaik mereka.
Aku melangkah masuk kedai itu sambil bersiul-siul. Sekarang, aku bisa memesan apa saja yang aku inginkan. Saat pelayan mencatat pesananku, aku menyebutkan menu pesananku keras-keras. Kegilaan muncul seperti sekawanan lebah dalam kepalaku. Aku ingin semua orang tahu, aku bukan lagi pengarang miskin yang tak punya uang.
Usahaku tampaknya berhasil. Beberapa orang mendekati mejaku dan ingin bergabung. Dua di antaranya adalah teman sekolahku dan sisanya adalah mereka yang bekerja di koran terbitan lokal. Kebanggaan dalam hatiku semakin menggila. Aku menyilakan mereka memesan apa saja yang mereka inginkan dan berjanji akan membayarnya. Mereka semua tertawa kegirangan dan memanggilku, "Kawan!"
Ketika mereka bertanya dari mana aku memperoleh uang, aku mulai membual tentang emas. Aku membual seperti pemabuk yang kehilangan kesadaran. Mereka menertawakanku. Sial! Aku tak membawa sebutir emas pun untuk membuktikan ucapanku. Tunggu saja, aku akan menunjukkan emas itu pada kalian. Itulah yang kukatakan kepada mereka. Mereka masih tak percaya.
Hari sudah sore ketika kami saling mengucapkan selamat tinggal. Uang penjualan emasku tak bersisa. Bukan masalah, karena aku akan menjual yang lainnya nanti. Aku berjalan pulang ke perbukitan sambil bersiul-siul riang. Dalam perjalanan, aku berpikir untuk membeli kendaraan agar bisa lebih sering mengunjungi kota.
Langit perbukitan tampak cerah malam ini. Aku bergegas masuk ke dalam rumah, menuju karung penyimpanan emasku. Perasaan lega memenuhi dadaku saat ikatan karung terbuka. Seluruh emasku masih berada di sana. Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah di belakangku. Saat aku akan berbalik, sebuah benda menghantam kepalaku. Tubuhku rebah ke lantai.
Kau dan mereka yang membaca cerita ini mungkin sudah bisa menduga, orang-orang yang bersamaku di kedai adalah pelakunya. Benar sekali, mereka mengikutiku. Semua ini terjadi gara-gara mulut besarku. Sialan! Mereka merampas sekarung emas milikku di depan mataku. Sebelum kesadaranku lenyap, aku mendengar kambing-kambing itu mengembik keras. Lalu salah seorang dari orang-orang yang bersamaku di kedai berteriak, "Lihat, kambing-kambing itu terangkat ke langit!"
***
Tepian DanauMu, 27 Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H