Pukul sembilan pagi. Saatnya kita mulai rutinitas sarapan pagi. Kau akan berkata: sarapan pagi yang kesiangan. Sindiranmu kubalas dengan bantahan: lebih baik kesiangan ketimbang sarapan praktis seadanya. Memamah berita dan buku seharian membutuhkan energi lebih dari cukup. Kita sama-sama tahu itu. Mendengar kata-kataku, kau melambaikan tangan kanan sebagai ganti bendera putih.
Kita lalu menghabiskan waktu setengah jam sehabis sarapan untuk berdebat tentang apa saja. Salah satunya adalah tentang selera baca kita yang seperti utara dan selatan. Kau gemar melahap buku petualangan, sedangkan aku betah membolak-balik buku resep masakan. Kita bisa berada di Alaska pada detik yang sama, tetapi dengan pengalaman yang berbeda. Kau menikmati petualangan mendebarkan seperti dalam Into The Wild [1], sedangkan aku mencicipi salmon bakar sambil memandang danau es yang terbentang. Nyaris selalu begitu.
Ed... Ed! Ed? Sepuluh kali aku memanggil namamu dalam sehari. Kau akan menjawab ya, hmm, atau apa lagi. Meski begitu, aku mengulangi panggilanku. Sengaja agar kau kesal. Tak ada hal yang benar-benar ingin kutanyakan padamu. Kau takkan mengerti soal bumbu atau kue-kue untuk pesta pernikahan. Kau cuma mengingat nama kota, sungai, lembah, pantai, atau hal-hal lain yang menarik untuk dikunjungi.
Kebiasaanmu menandai bola dunia dengan spidol merah itu sangat membosankan. Kau seolah-olah berlagak seperti Columbus yang akan melakukan pelayaran mengelilingi dunia. Padahal, kau hampir tak pernah pergi kemana-mana. Kau cuma berpetualang ke tempat-tempat itu lewat layar di hadapanmu ditemani sekantung kuaci dan minuman soda. Sadarlah dari mimpimu, Ed. Kalimat sindiranku itu tak pernah mempan. Kau malah berkacak pinggang dan berkata: suatu hari nanti akan kubuktikan padamu.
Hidup intinya soal makan dan mati. Itulah isi khotbah yang kudengar minggu lalu. Kita bekerja keras memamah berita dan buku, atau menonton layar selama berjam-jam agar bisa makan. Kita makan supaya bisa hidup. Setelah makan berkali-kali (aku tak bisa menghitung berapa kali persisnya), akhirnya kita harus mati. Karena itu, jangan berpikir terlalu rumit. Hindarilah ambisi setinggi gunung. Perbanyak ikhlas. Saat kuceritakan hal itu kepadamu, kau malah menertawakanku. Kau bilang, hidup terasa kosong jika sesederhana itu. Kau membutuhkan tantangan untuk kau taklukkan. Hidup justru ibarat gunung. Sulit untuk didaki, tetapi saat tiba di puncak kau akan meraih kepuasan sebagai pemenang.
Terserah kau saja, Ed. Kukatakan itu saat kau menatapku dengan sorot mata: pecandu resep masakan sepertimu takkan mengerti apa yang kubicarakan. Teruskanlah petualanganmu itu. Aku akan berpuas diri dengan buku-buku resepku. Sesekali, kita masih akan berada di belahan dunia yang sama meski menikmati hal yang berbeda. Karena aku tahu, kau akan kembali pulang. Seorang petualang takkan bisa bertahan hidup tanpa makanan. Kau tahu itu, bukan?
"Sejak kapan dia selalu berdiri di situ?"
"Setahun. Entahlah, mungkin lebih."
"Setiap hari begitu?"
"Setahuku, iya. Setiap pagi dia berdiri di gerbang rumahnya sambil menenteng rantang makanan."
"Menunggu seseorang?"