Jika kau merasa putus asa dengan hidupmu, tak ada salahnya kau datang ke kafe yang ada di kotaku. Kafe itu baru dibuka tiga bulan yang lalu. Tidak sulit menemukannya. Kafe itu terletak di samping stasiun kereta api. Kau akan melihat nama yang tak biasa di papan tulis berwarna hitam-Kafe Hari Terakhir-tepat di samping pintu masuknya. Saat kau membaca sepotong kalimat yang tertulis di bawah nama kafe itu-datanglah, bila kau merindukan hari terakhir-mungkin kau akan merasa semakin penasaran.
Sejak dibuka tiga bulan yang lalu, kafe itu tak pernah sepi pengunjung. Jangan salah paham, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa sebagian besar orang-orang di kotaku sedang putus asa. Pengunjung kafe itu banyak pula yang berasal dari kota lain. Mungkin karena mereka tidak perlu bersusah payah. Cukup naik kereta api, turun di stasiun, lalu berjalan beberapa langkah untuk sampai di kafe itu.
Awalnya, aku tidak berminat mengunjungi kafe itu. Aku tergolong orang yang lumayan sibuk. Menghabiskan bercangkir-cangkir kopi atau mencicipi kue-kue lezat sambil berbincang tanpa arah bagiku merupakan kesia-siaan. Alasannya sederhana, aku menggunakan waktuku demi menghasilkan uang, bukan malah menghambur-hamburkan uang dengan cara menghabiskan waktu.
Jika akhirnya aku mengunjungi kafe itu, hal itu semata-mata disebabkan tuntutan pekerjaan. Para pemilik kafe di kotaku resah dengan kehadiran kafe baru yang menjadi pusat perhatian. Kafe mereka mulai sepi pengunjung. Pengunjung yang datang malah membicarakan tentang kafe baru itu. Mereka merasa terancam. Para pemilik kafe itu lalu berunding dan memutuskan untuk mencari tahu kelemahan saingan baru mereka.
"Segera laporkan hasil penyelidikan Anda kepada kami secepatnya." Itulah penutup perintah yang kuterima pada suatu malam. Para pemilik kafe yang duduk melingkari meja bundar itu tidak menyampaikan hal lainnya. Itu artinya, aku harus menggali informasi dari awal. Ketika mereka menyebutkan jumlah imbalan yang akan kuperoleh, segera kuanggukkan kepala pertanda setuju.
Memata-matai adalah pekerjaanku selama bertahun-tahun. Aku tidak pernah memilih apa atau siapa yang harus menjadi targetku. Pihak mana pun boleh menggunakan jasaku. Selama menerima bayaran yang pantas, aku pasti bersedia. Tentu saja, aku mengutamakan kepuasan mereka. Mungkin itulah alasan mengapa aku tak pernah lowong pekerjaan.
Sebagai langkah awal, aku melintasi kafe itu beberapa kali untuk mengawasi situasi. Pantang bagiku untuk bertindak gegabah, karena selalu ada hal di luar dugaan. Aku harus menyingkirkan hal-hal semacam itu untuk memastikan pekerjaanku aman nantinya. Untuk langkah berikutnya, aku berniat mengunjungi kafe itu secara teratur. Seminggu tiga kali.
Kuamati orang-orang yang berdiri di depan kafe pada kunjungan pertamaku siang ini. Hampir dapat dipastikan, mereka adalah calon pengunjung. Beberapa di antaranya hanya berdiri menatap pintu, berjalan mondar mandir, lalu berbalik meninggalkan kafe. Ada pula yang sudah menyentuh gagang pintu, namun urung mendorongnya dan melangkah masuk. Mungkin mereka merasa bimbang. Sisanya adalah mereka yang masuk ke dalam kafe tanpa terlihat ragu-ragu.
Suasana dalam kafe tak ubahnya seperti kafe lain pada umumnya. Meja dan kursi dari berbahan kayu palet mengisi separuh ruangan kafe. Lampu-lampu pijar dalam sangkar besi piramida seperti tercurah dari langit-langit. Mural pemandangan dari berbagai belahan dunia memenuhi permukaan dinding kafe. Sesekali, terdengar denting sendok saat beradu dengan pinggiran cangkir. Pada sudut kiri dan kanan di ujung ruangan, tirai hitam nampak menjuntai, menyentuh lantai berwarna abu-abu pekat.
Hal yang terasa berbeda adalah kemuraman yang memenuhi seisi kafe. Setiap orang duduk sendirian dengan wajah putus asa. Mereka membisu, terisak, atau berkata-kata dengan diri sendiri. Para pelayan tak kalah muramnya dengan pengunjung. Mereka melayani pengunjung tanpa senyuman. Para pelayan berseragam hitam itu hanya mendatangi meja, mencatat pesanan, lalu pergi tanpa mengucapkan terima kasih.
"Apa menu unggulan kafe ini?" tanyaku pada seorang pelayan perempuan yang mendatangi mejaku.