Saat merebahkan tubuhmu malam itu, kau memandang kerlip yang gemerlap di angkasa seperti lampu pohon cahaya di alun-alun kota. Kau merasa takjub dengan keindahan itu, sama seperti saat kau bertemu pandang untuk pertama kalinya dengan sepasang mata bercahaya di masa mudamu. Kau lalu terkenang kalimat pemilik sepasang mata bercahaya itu: sebuah tempat selalu memiliki kenangan, terutama saat kau bertemu dengan orang-orang, memilih pergi lalu saling melupakan.
Kau menggeliat sejenak, seperti ulat yang meronta dan ingin terbebas dari kepompong yang mengungkungmu. Kau merentangkan kedua lenganmu lebar-lebar lalu tersenyum. Inilah duniamu, tempat kau berhak membunuh kenangan yang kau inginkan. Meskipun, kau tak pernah bisa membunuh kenangan yang kau bawa dari masa kanak-kanakmu.
"Papa mau ke mana?"
"Ke dunia luar, merayakan kebebasan."
"Kebebasan? Apakah itu nama mainan baru?"
"Tidak, itu hal yang paling diinginkan orang dewasa."
"Lebih dari makanan enak?"
"Ya, Ayah menginginkannya lebih dari itu."
Kau tercenung. Hal yang paling kau yakini di dunia adalah bahwa perempuan yang kau panggil mama takkan pernah kembali. Setelah sebuah botol bir menghantam dinding dan menimbulkan luka di ujung jemari kakimu; setelah perempuan itu mengucapkan sumpah serapah dengan riasan mata luntur; dan setelah perempuan itu menyeret sebuah kopor besar yang ia jejali dengan isi lemarinya tadi pagi.
"Apakah... kebebasan itu akan membuat mama kembali?" pertanyaan itu memantul di udara lalu menghantam benakmu. Kau terlalu takut untuk mendengar jawabannya, tetapi sudah terlambat bagimu untuk menarik kembali pertanyaan itu.
"Tidak, tapi hal itu akan membuat Papa tetap hidup."