Tak terbilang stasiun yang telah kau singgahi. Pun terminal tempatmu berhenti menitipkan jeda. Kereta-kereta dan bus-bus itu tak kunjung lelah meski kau tumpangi sepanjang waktu. Silih berganti menuju perhentian terakhir yang belum juga kau temukan.
Malam itu kau tiba di sini. Keletihan tak terkira kutemukan dalam garis senyummu yang terdalam. Kau mengempaskan tubuhmu di kursi paling tepi. Seolah ingin menyelinap di antara lalu-lalang penumpang yang berkejaran dengan kelam.
Kau membuka-buka lembaran-lembaran buku dan membaca setiap kata dengan sepenuh hasrat. Ketika kau mulai menaikkan nada suara, rentetan kalimat menerpa telingaku. Kau menyebutkan sederet nama pujangga, filsuf, tokoh dan pemuka. Juga serangkaian nilai hidup yang membuatku terkesima. Lalu kau mengangguk-angguk puas kala menemukan petikan-petikan yang mengetuk jiwa. Seakan terselamatkan dari segala hal yang berlomba-lomba menyesakkan hidupmu.
Sesaat kemudian, warna-warni mulai menggelisahkan batinmu. Kau menyalahkan dinding-dinding stasiun yang terlalu suram. Cat abu-abu yang mengelupas di sana-sini. Kau menginginkan merah, oranye, biru, dan violet berbaur di tiap sudut. Gairah menyala-nyala di bola matamu. Imajinasi mulai menggoda hasratmu. Kau bergegas menghampiri kereta terakhir tanpa berpamitan. Ketika kau menjauh bersama kereta yang membawamu pergi, mendadak rindu menderu-deru di segala penjuru stasiun.
***
Seribu malam setelah kepergianmu. Entah sudah berapa stasiun dan terminal yang telah kau tuju. Mungkin kau sedang mengagumi warna-warni pada dinding-dinding mereka. Barangkali pula kau telah membaurkan merah, oranye, biru dan violet pada seluruh permukaannya.
Seseorang baru saja mengempaskan tubuhnya di kursi paling tepi. Â Dia membuka koran hari ini, membaca berita dalam diam, sebelum peluit kereta melengking memanggilnya. Lelaki itu bergegas menuju kereta dan menghilang menuju stasiun lain tanpa permisi, sama sepertimu.
Stasiun mulai lengang. Kereta terakhir baru saja pergi. Koran tertinggal di atas kursi. Seorang lelaki tersenyum lebar di depan stasiun baru. Kau. Mungkin itu sebabnya mengapa kau tak pernah lagi menyinggahiku, stasiun tua yang menanti hadirmu untuk rindu.
***
Tepian DanauMu, 29 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H