Jika AKU Bukan DIA
Sebelumnya :
Satu (Secangkir Cappucino), Dua (Gelas Pecah), Tiga (Tangis Kemarau), Empat (Cemin Buram), Lima (Stiletto Merah), Enam (Blue 5 Cafe), Tujuh ( Rahasia Brian)
“Membencimu?” Sepasang mata indah milik Jane membelalak heran. “Tapi mengapa? Untuk apa?”
“Tanyakan sendiri padanya,” tuding Brian dengan nada sinis.
“Sis, tolong jelaskan padaku. Ada apa ini?” desak Jane bingung.
Cora merasa tersudut. Tak tahu harus jujur atau berdusta. Di satu sisi, kejujuran akan membuat hati Jane terluka. Tapi di sisi lain, dusta akan membutakan mata gadis itu. Jane tidak akan pernah tahu manusia seperti apa Brian sesungguhnya. Rasanya, tak tega membiarkan adiknya tertipu oleh lelaki itu.
“Jane, dengarkan aku. Sebenarnya Brian bukan lelaki yang tepat untukmu.” Kata-kata itu seolah melompat begitu saja dari bibir Cora. Ia tak dapat menahannya.
“Mengapa tiba-tiba kau berkata begitu?” Jane menatap Cora dan Brian berganti-ganti. Pandangannya seakan terluka.
“Karena dia...”
“Karena dia apa?” Suara Mr. Howitt mengejutkan mereka bertiga. Lelaki itu sudah berada di belakang Jane.
“Oh, bukan apa-apa, Pa,” elak Cora cemas. Ia tak tahu, sudah berapa lama lelaki itu mendengarkan mereka. “Kami hanya berbincang santai. Bukan begitu, Jane?” Cora menatap adiknya.
“Iya, Pa,” angguk Jane cepat. “Kami membicarakan soal rencana kami bepergian besok."
“Aku mendengar semuanya. Cora, dengarkan Papa. Brian adalah calon suami adikmu. Kau tak boleh mengatakan yang tidak-tidak tentang dirinya. Ingat itu baik-baik,” tegas Mr. Howitt.
Cora terdiam mematung. Sudah terlambat menjelaskannya pada Jane. Tak ada gunanya. Papa sudah menyuruhnya tutup mulut. Jika ia bersikeras, pada akhirnya, dirinya juga yang akan disalahkan. Kemungkinan besar, takkan ada yang memercayainya.
“Tapi, Pa, kita harus mendengarkan Cora. Mungkin dia punya alasan sendiri,” bantah Jane tak setuju.
“Jane, sebaiknya dengarkan perkataan Papamu. Kau harus menghargai ucapan orangtuamu,” ujar Brian dengan nada membujuk.
Sepasang tangan Cora terkepal. Ia berusaha menahan kemarahannya. Sikap palsu Brian sangat menjijikkan. Lelaki penipu. Suatu hari nanti, ia akan membongkar kedoknya.
“Sudahlah, sebaiknya kita semua kembali ke depan,” Mr. Howitt lalu menunjuk putri sulungnya, “Cora, sebaiknya kau masuk ke kamarmu sekarang juga.” Titah Mr. Howitt terdengar tegas dan tak terbantahkan.
“Pa,” cegah Jane, ”tolong jangan bersikap begitu padanya. Sikapmu ini mempermalukannya.”
“Sudahlah, Jane. Biar saja. Aku ke kamarku dulu,” ucap Cora pelan. Ia tak ingin terjadi perdebatan yang justru akan semakin memojokkan dirinya.
Jane masih beradu pendapat dengan Mr. Howitt saat Cora berlalu. Ia masih sempat melihat Brian tersenyum licik penuh kemenangan padanya. Tunggu saja nanti, pikirnya gemas.
***
“Sis, katakan padaku. Apa yang sebenarnya yang ingin kau katakan tentang Brian?” desak Jane. Brian baru saja pulang. Mereka berdua sedang berada di kamar Cora dan duduk berdampingan di atas pembaringan. Gadis itu terlihat sangat penasaran.
“Sebenarnya, tak ada yang penting. Mungkin itu berasal dari pikiranku saja. Aku cuma mengkhawatirkanmu,” senyum Cora.
“Tapi tadi…”
“Percaya saja dengan kata hatimu. Kau mencintainya?”
Wajah Jane bersemu. “Dia baik padaku.”
“Sama seperti lelaki yang sudah-sudah?” goda Cora.
“Sis!”
Mereka berdua tergelak. Jane selalu berhasil meredakan kemarahan di hatinya. Menghalau kekecewaannya. Karena itulah, ia tak ingin melukai gadis itu. Ia sangat menyayanginya.
“Tapi ini sungguhan, kan? Kau tidak sedang membohongiku?” tatap Jane penuh selidik.
“Nggak, aku nggak membohongimu,” kata Cora terpaksa.
“Syukurlah kalau begitu. Jadi, mulai sekarang Brian resmi menjadi calon adik iparmu?”
“Memangnya kau sudah siap menikah?” balas Cora.
Jane tersipu. “Soal itu, aku belum bisa jawab, Sis... Kau tahu sendiri alasannya.”
“Iya, tentu saja aku tahu. Jika ada lelaki yang lebih menarik, tentu…”
“Brian berbeda,” sela Jane, “ini bisa dibilang semacam perjodohan. Menurutku… Papa sangat menyukainya.”
“Dan kau tidak?”
“Uhuk!” Jane terbatuk. “Tentu saja aku menyukainya. Kalau tidak, mana mungkin aku mau menjadi kekasihnya.”
Cora tertawa kecil. “Kadang-kadang aku iri padamu. Mudah bagimu untuk menyukai seseorang. Sedangkan aku? Hmmm…”
“Kau nggak sedang menyindirku, kan?”
“Aku serius.” Cora menyentuh lengan adiknya. “Sesekali… terbersit keinginan untuk merasakan kebahagiaan yang kau rasakan.” Ia tersenyum malu.
“Oh My God! Akhirnya kakakku tercinta ingin merasakan jatuh cinta!” sorak Jane. Gadis itu beranjak dari pembaringan lalu berputar-putar bak penari balet.
“Jane, hentikan… kau membuatku malu,” desis Cora.
“Biar saja! Aku sangat gembira. Ini kabar baik.”
“Tapi itu cuma keinginan. Belum tentu terwujud.”
Jane menghempaskan tubuhnya kembali di samping kakaknya. “Siapa bilang? Ramon, kau bisa memulainya dari dia. Dia masih menyukaimu, kan?”
“Dia? Aku hanya menganggapnya teman. Nggak lebih lebih dari itu.”
“Itu karena kau tak pernah memberinya kesempatan. Seingatku, kau menceritakan bahwa dia sudah berulangkali mengajakmu pergi berdua.”
“Tapi aku selalu menolaknya.”
“Berikan dia kesempatan. Mungkin cinta akan datang kemudian. Kau takkan pernah tahu, kan?”
“Hmmm… aku ragu, Jane.”
“Jangan ragu. Setelah dijalani ternyata nggak nyaman, ya jangan diteruskan.”
Cora terdiam. Saat melihat semangat yang menyala-nyala dalam pandangan Jane, ia tahu─ia tak bisa mundur lagi.
***
Tepian DanauMu, 8 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H