Menujumu...
Pagi tadi aku terjaga mendengar tiupan sulim[1]Â yang mendayu-dayu. Merdu. Tiba-tiba aku teringat dirimu. Semoga kau selalu dilimpahi kesehatan. Aku berharap sepasang mata lentikmu bersinar-sinar dan tawamu masih seriuh biasanya. Itulah bagian dari dirimu yang ingin selalu kukenang.
Waktu bergulir lambat di sini. Sepanjang pagi aku menghabiskan waktu bermalas-malasan di jendela. Menatap bulir-bulir eme[2] yang menguning di hauma[3]dan hamparan danau di kejauhan. Musim panen akan segera tiba. Burung-burung semakin ramai mengintai, namun ragu-ragu mendekat karena plastik warna-warni yang terikat di pancang-pancang. Sungguh riuh. Ah... lagi-lagi aku teringat padamu.
Rasanya, aku bisa mendengar irama ketukan sepatumu menyusuri selasar kampus. Setelan blazer, setumpuk modul, tas jinjing, tak ketinggalan aroma parfum yang terendus lembut. Langkahmu anggun, penuh percaya diri. Kupastikan puluhan mata sedang mencuri pandang padamu. Beberapa dari mereka melempar senyum atau sapa menggoda. Mungkin. Satu hal yang kuyakini, kau tetap menatap lurus ke depan. Mereka tak tahu betapa sulitnya mendapatkan senyummu dulu. Sementara, aku tahu betul soal itu.
Masih segar dalam ingatan, ketika kau selalu berwajah masam menghadapiku, mahasiswa dari kampung sunyi di pulau seberang. Anak petani miskin pula. Bermodal nekat memuja primadona sepertimu. Aku tak pernah kau anggap. Menoleh pun kau enggan. Hingga aku kehabisan akal. Kebisaanku cuma berpuisi. Maka, kutulislah sebuah puisi untukmu dalam bahasa asalku.
Saat itu aku kehilangan kewarasan. Itulah yang mereka katakan ketika aku membacakan puisi itu keras-keras di tangga fakultas. Di depanmu. Di hadapan semua orang. Mereka menertawakanku. Kecuali kau. Kau hanya melongo. Terheran-heran. Dahimu berkerut. Mungkin karena tak memahami kata-kata yang kuucapkan. Tapi, setelah kegaduhan itu berakhir, secercah senyuman terbit di sudut bibirmu. Keajaiban yang melegakan (kau tak  pernah tahu tentang butiran keringat yang membasahi tengkukku).
Langit mulai memerah di sini. Aku baru saja menghabiskan secangkir kopi, sepiring itak gurgur[4]Â buatan inong[5] dan menulisi berlembar-lembar kertas. Kau mau tahu apa isinya? Segalanya tentangmu. Hanya tentang seorang gadis bernama Christie. Kapan kau berkenan mengunjungiku? Maaf, bila aku terlalu berharap. Mengajar pasti sangat menyita waktumu, bukan?
Maafkanlah aku. Seharusnya, akulah yang menjemputmu. Aku ingin menunjukkan padamu keindahan danau yang sering kau lihat di televisi. Mengajakmu bercengkerama di tepiannya. Terlebih, aku ingin mengenalkanmu pada inong.
Ada hal yang ingin kusampaikan padamu, jangan pernah menyesali jalan pilihanmu. Kau mencintai hiruk-pikuk kota, sedangkan aku selalu rindu pada alunan sulim yang memanggil-manggilku. Di sinilah seharusnya aku berada. Bukan di antara belantara gedung yang membuatku merasa tersesat. Ini sudah pilihan, tak ada yang perlu kita sesali.
Chris, bacalah puisi ini. Resapilah kerinduanku...
Ito hasian,
sai tarpaimaima au di harorom
manogot, arian, botari, sahat tu na borngin
alai soada ho di lambungki