Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jejak Sunyi Biola Tua

24 Juli 2016   17:29 Diperbarui: 24 Juli 2016   17:49 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki itu masih berdiri di sana. Berjuang keras menuntaskan lengkingan nada-nada dari gesekan dawai biola tuanya di sebuah lorong sunyi. Semalam-malaman, sepasang matanya terjaga. Ia takkan tertidur sebelum menemukan nada yang dicarinya. Nada itu akan disimpannya baik-baik dalam bilik kenangan rahasia miliknya. Bila ia beruntung, suatu hari kelak nada itu akan menjelma menjadi harta karun untuk mereka yang memuja nada-nada itu dengan jiwanya.

Aku mengamati lelaki itu dengan sabar. Segala gerak-geriknya. Pun setiap air mukanya yang berubah-ubah. Seperti seorang pemuja yang tak ingin melewatkan sedetik pun pertunjukan sang maestro. Entah apa yang merasukiku, namun nada-nada yang tercipta menggiringku menuju kedamaian, menuntunku pada ketenangan dan keheningan tiada terbatas.

Selama hidupku, aku melihat berlusin-lusin pasang mata meneteskan air mata. Kanak-kanak yang kehilangan ibu, perempuan-perempuan yang menangis di belantara perang, lelaki-lelaki yang meratapi kekasihnya, serta sederet kepedihan lainnya. Seonggok kepahitan laksana sekam membara, berdesakan memenuhi beranda hatiku. Namun, nada-nada biola tua lelaki itu bagai obat penawar yang menyembuhkan luka. Memadamkan bara dalam iramanya yang meliuk-liuk indah dan menggetarkan.

Malam-malam senantiasa berlalu dan enggan pulang pada saat mereka bermula. Aku selalu bersembunyi di antara bayang-bayang kegelapan agar pandangan lelaki itu tak pernah menemukanku. Lalu suatu ketika, nada-nada itu berhenti di penghujung malam. Langkah-langkah terdengar menapaki lorong sunyi. Akhirnya, aku telah ditemukan.

Saat pandangan kami berbicara, aroma kepahitan menggetarkan udara dalam kebisuan. Aku berdoa agar lelaki itu segera menggesek dawai biola tuanya. Tapi, ia tak kunjung melakukannya. Sepasang kakiku goyah. Aku berlutut dan memohon padanya. Lelaki itu bergeming. Perlahan-lahan, berlusin-lusin pasang mata mulai menyeruak dalam kenanganku. Bulir-bulir hangat memberati pelupuk mataku. Ah... kenangan telah tiba untuk mengajakku pulang.

***

Tepian DanauMu, 24 Juli 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun