Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Saya Adalah Sunyi

24 Juni 2016   16:37 Diperbarui: 25 Juni 2016   16:02 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkenalkan, saya adalah sunyi. Sesuatu yang menghampirimu kala kau sendirian atau di tengah keramaian. Jangan pernah berikan saya waktu, karena saya akan menguasai pikiranmu, lalu menggerogoti saraf-saraf kelabumu tanpa jeda. Entah kapan, di mana, dan siapa, saya memangsa siapa pun sesuka hati saya. Tak terkecuali kamu.

Bukalah ruang dalam batinmu, maka saya akan bertakhta di sana. Menyia-nyiakan adalah hal terlarang bagi saya. Jahat? Keliru. Saya justru membantumu. Mana yang lebih baik, kehampaan atau kesunyian yang kamu peroleh cuma-cuma? Hampa adalah nihil, sedangkan sunyi setidaknya masih memiliki rasa. Kamu tak percaya? Baiklah, saya akan memberitahumu nanti.

Kemarilah, saya akan menunjukkan padamu sesuatu. Kita sedang berada dalam sebuah hati, tempat saya sedang bersemayam. Hati ini sudah tak utuh. Penuh dengan lubang. Belatung sedang bercengkerama dalam lubang-lubang itu. Mari, bergeser ke sini sedikit. Lihat bercak kebiru-biruan yang mengenaskan itu. Hati orang mati? Kamu keliru lagi. Pemilik hati ini masih bernapas setiap harinya. Namun hidupnya bagai tak bernyawa. Kebencian mengaliri setiap pembuluh darahnya. Amarah berdenyut di setiap detak jantungnya. Pandangannya berselubung kabut karena sederet luka menggelayuti hidupnya.

Mengapa? Klasik. Cinta telah mengoyak-ngoyak jiwanya yang lugu. Pemilik hati ini memuja cinta, tapi malangnya, ia malah menuai kekecewaan yang melecut kalbunya beribu-ribu kali tanpa ampun. Semua itu menghanguskan angannya untuk bersama seseorang dalam mimpinya. Harapannya punah, senyum di bibirnya kerontang. Sungguh menyedihkan. Ia layaknya rumah tua yang dipenuhi sarang laba-laba. Suram dan berdebu. Ketika kamu memasukinya, kamu akan merasakan kesunyian yang maha. Mungkin, tetes-tetes hangat akan mengaliri pipimu tanpa kamu tahu mengapa.

Kamu merasa iba mendengar cerita pemilik hati tadi? Buang jauh-jauh rasa ibamu itu. Sia-sia. Pemilik hati ini cuma sedang tersesat di persimpangan. Kelak, dia akan memilih, ikut berbelok bersama saya atau terjaga lalu membasuh bibirnya yang kerontang dengan kegembiraan. Kita akan menantikannya bersama-sama. Kamu mau, bukan?

Kita sudahi dulu bincang-bincang ini. Seka dulu air matamu. Hmmm... kamu bertanya mengapa saya menceritakan ini padamu? Baiklah, saya terpaksa memberitahumu. Seutas tali sedang melilit lehermu sekarang. Kehadiran saya menggerogotimu hingga tak bersisa. Sepasang matamu berlinang karena kamu masih memiliki rasa. Rasa sunyi, yaitu saya.

***

Tepian DanauMu, 24 Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun