Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Orkestra Daun Jendela

22 Juni 2016   15:46 Diperbarui: 23 Juni 2016   23:58 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.keywordsuggestions.com

Bunyi jendela yang berderit-derit itu sungguh riuh. Seperti orkestra yang digelar di tengah kesunyian malam. Bila angin sedang tak bersahabat dan menampar-nampar daun jendela tanpa jeda, bunyi yang ditimbulkan sungguh meresahkan dan mengganggu ketenangan warga sekitar. Hal itu telah menjadi bahan perbincangan di seluruh desa.

“Apalah dayaku. Aku cuma perempuan tua yang hidup sendirian,” bela Salimah pada para tetangga yang mengeluhkan jendela kayu di ruang muka rumah tuanya yang reyot.

Jawaban perempuan itu membuat orang-orang berubah iba. Benar adanya, Salimah memang sebatang kara di rumah tua peninggalan suaminya itu. Anak tiada, suami telah berpulang belasan tahun yang silam. Perempuan tua pendiam itu menggantungkan hidupnya dari membantu apa saja yang ia mampu. Menjaga anak, membantu persiapan hajatan, menunggui rumah yang ditinggal penghuninya, atau yang lainnya. Tak jarang ia menerima beras, gula, lauk-pauk atau apa saja dari para tetangga yang bersimpati.

Sebenarnya, ada orang yang menawarkan bantuan untuk memperbaiki jendela itu. Namun selalu ada saja kendala. Salimah mendadak sakit atau pergi mengunjungi kenalannya di kampung sebelah, hingga perempuan tua itu beralasan telinga tuanya tak tahan mendengar bisingnya suara palu. Lama-kelamaan, tetangganya jenuh menawarkan bantuan. Keriuhan daun jendela yang semula dianggap mengganggu, perlahan-lahan mulai terlupakan.

Hingga suatu kali, kerabat jauh tetangganya datang berkunjung ke kampung mereka. Hari telah larut malam. Kampung lengang. Gerimis turun sedari petang. Saat berjalan melintasi rumah Salimah, ia mendengar suara riuh. Orang itu kecut bukan kepalang. Saat menoleh mencari-cari sumber suara, ekor matanya menangkap bayangan putih melayang ke tanah. Orang itu berteriak-teriak ketakutan lalu berlari pontang-panting ke rumah kerabatnya. Ketika pintu terbuka, pingsanlah ia. Seisi kampung pun gempar.

Keesokan harinya, para tetangga beramai-ramai mendatangi Salimah. Mereka menuntut jendela tua itu segera diperbaiki. Bagaimanapun caranya. Sia-saja perempuan tua itu membela diri, mengatakan bahwa bayangan putih itu tak lain seprai yang lupa diangkat dari jemuran. Melihat kemarahan orang-orang, Salimah tak mampu berkata-kata. Perempuan tua itu membisu ketakutan. Beberapa di antara mereka segera pulang untuk mengambil peralatan bertukang. Kemudian, kegaduhan pun terdengar di rumah Salimah.

Salimah hanya berdiri mematung saat melihat jendelanya diperbaiki. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya dan tak seorang pun yang bertanya kepadanya. Semua mata tertuju ke jendela tua. Jendela itu dibuka, lalu dipasang kembali dengan engsel baru yang mengilat. Celah-celah daun jendela yang longgar dirapatkan. Jendela yang semula berwarna abu-abu pudar, kini berubah cokelat terang. Para tetangga tersenyum puas memandangi jendela itu.

“Mulai sekarang, kita takkan terganggu lagi dengan suara jendela ini,” ujar seseorang.

“Juga takkan ada kejadian seperti tadi malam, “ imbuh yang lain.

Mereka mengangguk-angguk. Sebuah masalah besar telah terpecahkan. Kampung terbebas dari gangguan jendela tua milik Salimah. Sekumpulan wajah memancarkan rasa bangga dan puas. Mereka telah menolong seorang perempuan tua. Sementara itu, sepasang mata diam-diam berlinang.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun