“Suatu hari nanti, kau akan mengalaminya. Kau akan bepergian ke tempat-tempat jauh dan menceritakannya padaku,” hiburku.
“Sepertinya itu hampir tak mungkin. Kita ini berbeda. Aku bukanlah perempuan karir sepertimu. Teman lamamu ini cuma pengangguran yang hidup dari belas kasihan orangtua.”
”Jangan menduga-duga tentang hari esok,” sanggahku. “Tak ada yang pernah tahu jalan hidup seseorang.”
Karin menghela nafas panjang. Baru saja ia akan membuka mulut, pramugari mengulurkan kantung cokelat berisi roti dan segelas air mineral kepada masing-masing kami. Kebetulan, aku belum sempat makan apa-apa sejak siang tadi. Aku mengunyah dalam diam. Roti berpindah dengan cepat ke dalam perutku. Kuhirup air mineral dengan sedotan hingga tinggal separuh. Lumayan juga sekadar pengganjal perut.
“Rotinya cuma satu. Padahal aku masih lapar,” keluh Karin setelah menghabiskan roti miliknya. Ia memegangi perutnya.
“Sabarlah, penerbangan ini takkan lama,” hiburku menenangkannya. “Begitu tiba, kau bisa makan sepuasmu.”
Karin menarik nafas dan menoleh padaku. “Sungguh menyenangkan mendapatimu duduk di sebelahku.”
“Aku juga begitu. Lama sekali kita tak berjumpa.”
“Tak bisa kubayangkan harus melalui semua ini tanpa seseorang yang bisa diajak bicara.”
“Kau berkata seolah-olah kita akan mati dalam pesawat ini.”
“Jujur saja, memang itu yang kupikirkan.”