Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Jika AKU Bukan DIA [ENAM-Blue 5 Cafe]

11 September 2015   15:18 Diperbarui: 11 September 2015   15:18 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ENAM

Blue 5 Cafe

 

Suasana cafe di pojok jalan itu belum terlalu ramai malam ini. Seorang gadis muda melangkah anggun memasuki pintu kafe. Bibirnya mengurai senyum percaya diri. Sosok menawan itu langsung menuju sebuah meja tepat di depan barista yang sedang beraksi lalu duduk di sana.

Gadis muda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Gaun model halter hijau tosca yang dikenakannya menonjolkan lekuk tulang bahunya yang indah. Bahan chiffon yang ringan menampilkan siluet tubuhnya. Tubuhnya menebarkan aroma eternity aqua for woman dari Calvin Klein. Gadis itu terlihat memesona.   

Blue 5 Cafe tak terlalu ramai malam ini. Beberapa pengunjung sedang mengobrol santai, berkelompok dan berpasangan. Ketika hendak memesan secangkir kopi, gadis itu menyadari sesuatu. Wajah barista itu tidak familiar baginya.

“Kamu baru di sini?”

Seraut wajah asing itu tersenyum hangat. Mengingatkan gadis itu pada secangkir kopi pertamanya. Kehangatan itu menjalar hingga ke dalam hatinya.

“Sudah tiga bulan. Sepertinya, kamu jarang datang ke sini,” ucap barista itu ramah.

Mungkin lelaki itu benar. Gadis itu mencoba mengingat-ingat kembali, tapi ia ragu. Cafe ini terasa familiar baginya.

“Kupikir… aku cukup sering ke mari,” bantah gadis itu tak yakin.

“Wah...” Barista itu terkekeh. “Kalau begitu, aku yang lalai memperhatikan pelanggan. Maafkan aku.”

Gadis itu melambaikan tangan. “Nggak apa-apa... Kafe ini memang lumayan ramai, ‘kan?”

“Ya, begitulah. Apa yang harus kusajikan untukmu?” Lelaki itu memiringkan kepala sedikit dengan mimik “siap melayani anda”.

Melihat sikapnya itu, mau tak mau gadis itu tersenyum. “Cukup secangkir cappucino dan namaku di atasnya. Cora...”

“Nama yang indah,” puji lelaki itu. “Seindah pemiliknya,” imbuhnya sebelum berlalu.

Cora tersipu. Hingga sang barista mulai meracik pesanannya, pipinya masih merona karena dijalari rasa senang. Sosok yang membelakanginya itu terlihat menjulang. Cora mengamatinya diam-diam. Ia bersyukur dalam hati karena datang ke cafe itu malam ini.

“Silahkan dinikmati,” suara barista itu membuyarkan lamunan Cora.

“Eh, ya,” cetus Cora gugup.

Cepat sekali aksi lelaki itu. Senyum Cora mengembang saat melihat pada buih secangkir cappucino di hadapannya. Cora & Green. Sebentuk hati melingkarinya. Ketika ia mendongak, wajah lelaki itu tepat berada di atas wajahnya.

“Kuharap kau suka. Itu namaku...”

Perempuan mana yang takkan menyukainya, batin Cora geli. “Kamu bercanda? Menurutku ini sangat indah. Terimakasih. Tapi... kurasa aku takkan tega meminumnya.”

Green terkekeh. “Tenang saja, aku selalu siap membuatkannya lagi untukmu,” janjinya. Ia pura-pura menegakkan tubuh dan memberi hormat.

Tawa renyah gadis itu terdengar. “Aku menduga, ini sejenis jebakan pelanggan,” pancing Cora.

Lelaki itu menyipitkan sepasang mata ke arahnya. “Jangan salah mendugaku. Janji ini… istimewa,” Green memberi penekanan pada kata istimewa.

Tentu saja Cora  tak semudah itu percaya ucapan lelaki. Itu pasti keramahan terhadap pelanggan. Tapi ia tak dapat menahan dirinya untuk tidak merasa senang. “Oke, oke,  aku pasti akan sering datang kemari.”

Percakapan hangat mereka terputus saat pelayan memberikan pesanan secangkir macchiato. Green menganggukkan kepala sekilas ke arah gadis itu lalu melanjutkan kesibukannya meracik cairan pekat beraroma memikat.

Cora menghirup minumannya sambil mengamati aksi barista itu. Sesekali lelaki itu tersenyum ke arahnya. Gadis itu bahkan tak menghiraukan pengunjung lain yang bersikap ramah bahkan menggodanya. Perhatiannya hanya tertuju pada lelaki itu. Green meracik kopi sebentar, lalu sesaat kemudian sudah berbincang akrab dengan pelanggan yang memesan. Barista itu sesekali melemparkan senyum pada mereka yang baru saja memasuki cafe. Green seolah bisa melakukan segalanya dalam satu waktu.

Hampir satu jam berlalu. Cora sudah menghabiskan minumannya. Ia berpikir untuk memesan lagi.

“Maaf, kalau kamu merasa bosan...” sapa Green tiba-tiba.

Aku takkan pernah bosan saat mengamatimu, batin Cora. “Oh... tidak. Hanya saja... cangkirku hampir kosong,” katanya sambil melirik ke.

“Hahaha...” gelak Green. “Cappucino lagi?” tawar lelaki itu.

Hmmm... bagaimana kalau affogato?”

Green mengacungkan jempolnya. “Pilihan bagus. Oke, segera...”

Dalam hitungan menit, Cora sudah merasakan lelehan espresso dan vanilla ice cream memuaskan lidahnya. Kelezatan rasa manis dan pahit yang menyatu membuat gadis itu tersenyum.

“Bagaimana?”

“Sempurna. Aku suka.”

“Kelihatannya kamu penikmat kopi sejati.”

Cora tertawa kecil. “Ya… begitulah.”

Mereka berdua larut dalam perbincangan yang akrab. Dengan sabar Green menjawab segala keingintahuannya tentang dunia yang digeluti lelaki itu. Green juga menceritakan pengalamannya memperdalam ilmu meracik kopi di Italia, negeri istilah peracik kopi berasal. Perbincangan itu membuat Cora menyadari bahawa Green adalah pribadi yang ramah dan menyenangkan.

Saat gadis itu menyampaikan niatnya untuk mempelajari latte art, seorang pelayan yang menyampaikan pesanan pada Green tak sengaja menyenggol tubuhnya. “Maafkan saya...” ucap pelayan itu buru-buru.

Gadis itu tertegun sesaat, lalu melirik pergelangan tangannya. Astaga, hampir pukul sepuluh. Mama dan papa pasti heran ia belum pulang jam segini. Air mukanya berubah panik. Gugup. Keanggunannya raib tak berbekas.

“Ada apa, Cora?” tanya Green lembut.

Gadis itu menatap lelaki di hadapannya penuh tanda tanya. Lelaki ini tahu namanya! Mungkinkah tadi ia menceritakan sesuatu?

“Ma-af... aku harus pulang,” pamitnya tergesa sambil meletakkan sejumlah uang. Cora lalu melangkah keluar dari Blue 5 Cafe diiringi pandangan penuh tanya milik Green.

Hujan baru saja turun rintik-rintik. Gadis itu menghentikan sebuah taksi yang melintas dan segera naik. Saat taksi berhenti si sebuah depot pengisian bensin, gadis penumpang itu buru-buru turun menuju toilet. Sepuluh menit kemudian, seorang gadis berkacamata bersetelan blazer menaiki taksi. Ketika melirik dari kaca spion, supir taksi segera menyadari bahwa gadis itu adalah orang yang sama...

***

bersambung… 

Samosir, 11 September 2015 (Tepian DanauMu)

 

Baca juga kisah sebelumnya di:

SATU-Secangkir Capuccino

DUA-Gelas Pecah

TIGA-Tangis Kemarau

EMPAT-Cermin Buram

LIMA-Stiletto Merah

Catatan:

  • Copas tulisan ini harus menyertakan URL postingan ini
  • Sumber Ilustrasi di SINI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun