Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jika AKU Bukan DIA [EMPAT-Cermin Buram]

6 September 2015   19:04 Diperbarui: 6 September 2015   19:08 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

EMPAT

Cermin Buram

 

Sepuluh tahun yang lalu…

Gadis cilik itu baru saja akan mulai sarapan saat adiknya selesai mengenakan seragam sekolah pagi itu. Mama sendiri yang membantu Janne bersiap ke sekolah. Mulai dari menyiapkan tas dan peralatan sekolah hingga memakaikan seragam dan sepatu bocah itu. Cora sendiri hanya dibantu Mbok Resmi, perempuan paruh baya yang sudah mengabdi di rumah pasangan Howitt sejak awal pernikahan mereka.

“Habiskan sarapanmu, Sayang,” suruh Mama sambil memberikan setangkup roti untuk Janne.

Cora menatap keduanya dengan tatapan sedih. Kapan mama akan membuatkan sarapan untuknya? Ekspresinya berubah muram. Gadis cilik itu kehilangan selera makannya. Ia hanya menghabiskan segelas susu yang terletak di atas meja.

Sebelum Janne dilahirkan tepat setahun sejak ia memasuki rumah keluarga Howitt, seluruh perhatian dan kasih sayang orangtuanya hanya tercurah padanya. Namun saat ini, jangankan perhatian, sekadar menanyakan pekerjaan rumah dari sekolah saja mereka tak punya waktu. Kehadiran peri cantik Janne bagai sulap yang merenggut papa dan mama  darinya.

Mr. Howitt baru saja turun dari lantai atas dan bergabung di meja. “Hai, Janne,” sapanya pada Janne lalu memberikan kecupan di kening putri kandungnya itu.

Cora menunggu, tapi pria itu hanya menyapanya sekilas. Tak ada kecupan untuknya pagi itu. Bahkan, pada pagi-pagi sebelumnya juga. Janne telah merampas papa darinya.

“Ayo, saatnya berangkat. Cora, jaga adikmu baik-baik di sekolah ya,” pesan mama.

Gadis yang duduk di tahun pertama Sekolah Menengah Pertama itu hanya mengangguk kecil. Tentu saja ia akan menjaga adik kecilnya. Janne baru sebulan ini mengenal sekolah. Tapi, apakah Janne membutuhkan semua itu?

Sebelum kedua putrinya masuk ke mobil, mama sibuk memeriksa putri bungsunya. Sudah rapikah seragam dan bando di rambut Janne? Atau, sudah lengkapkah alat tulis dan bekal makan siang Janne? Serta banyak lagi hal lainnya. Sementara papa meninggalkan koran paginya demi mengantar sang putri bungsu hingga ke depan pintu mobil.

Lambaian tangan mengiringi mereka hingga mobil yang disupiri Pak Johan menghilang dari pandangan mata. Tentu saja itu bukan lambaian baginya, tapi untuk putri berwajah malaikat di sebelahnya. Cora hanya bisa mendesah, lalu bersandar lesu di bangkunya.

“Kakak sakit?” tanya Janne padanya.

Cora menggeleng. “Nggak apa-apa, cuma ngantuk,” jawabnya. Ah, Janne selalu baik padanya. Kemarin, adiknya itu bahkan memberikan cokelat bagiannya diam-diam. Oleh-oleh yang dibawa papa dari Inggris itu sangat lezat. Cora sangat menyayangi adiknya itu.

“Sungguh?” Sorot mata lugu itu terlihat khawatir.

Sang kakak mengangguk, lalu mengelus pipi adiknya penuh sayang. Mereka tak menyadari, Pak Johan melirik dari kaca spion dan tersenyum melihat tingkah keduanya.

Sebenarnya supir keluarga Howitt itu iba melihat nasib putri sulung majikannya. Ia dan Mbok Resmi berdua tahu betul isi hati gadis cilik itu. Meski tak mampu berbuat apa-apa, Pak Johan dan Mbok Resmi berusaha untuk menyenangkan hati Cora sebisanya. Cuma itu yang bisa mereka lakukan.

***

“Sudah sampai,” ujar Pak Johan saat mobil yang dikendarainya tiba tepat di pintu gerbang sekolah. Pria itu tergesa-gesa turun dan membukakan pintu bagi putri majikannya.

“Terimakasih Pak Johan. Ayo, Janne. Kita turun,” ajak Cora.

Komples sekolah yang luas itu terdiri dari Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Atas. Saat berada di sekolah, Cora malah berada dalam situasi lebih tak nyaman lagi. Sejak Janne mulai bersekolah, seisi kompleks sekolah memuja bocah itu. Guru-guru, siswa, bahkan hingga satpam dan petugas kebersihan, semuanya menyukai Janne.

Hallo, Little Janne,” sapa Miss Tara saat mereka baru saja memasuki gerbang sekolah.

Hallo, Miss Tara,” balas Janne dengan mimik lucu.

Guru Janne itu membelai sayang rambut bocah itu. “Kakak Janne ‘kan? Biar saya yang membawanya ke kelas,” katanya pada Cora.

Cora hanya mengangguk dan membiarkan Miss Tara menuntun Janne menuju kelas Taman Kanak-kanak. Saat ini predikatnya hanyalah sebagai “kakak Janne” di sekolah. Pencapaiannya sebagai siswi berprestasi di sekolah bukan apa-apa lagi sekarang. Semua itu tak ada gunanya lagi.

Ketika melangkah menuju kelas, Cora sekilas menoleh ke belakang. Satpam sekolah sedang bercanda dengan adiknya itu. Guru-guru sedang mencubit pipi bocah itu dengan gemas. Keriangan dan kelincahan Janne bagai magnet yang menyedot kekaguman orang-orang di sekitarnya. Mama benar-benar keliru. Janne sama sekali tidak membutuhkan pengawasan dariku. Semua orang sudah menjaganya.

Cora tertunduk lesu. Ia mengurungkan niatnya memasuki ruang kelas. Langkahnya berbelok menuju toilet. Setelah masuk dan menutup pintu, ia duduk termenung di atas kloset. Mengapa semua jadi begini? Tiba-tiba serombongan siswi masuk ruang toilet dan berbincang dengan serunya. Biasanya mereka sambil merapikan diri masing-masing di depan cermin di atas wastafel.

“Eh, Janne itu nggak ada mirip-miripnya sama Cora ya,” celetuk seseorang.

Janne menajamkan telinga. Itu suara Karin, biang gosip sekolah menengah pertama.

“Ya, iyalah... Cora ‘kan anak pungut!” timpal yang lain.

Terdengar suara cekikikan. “Pintar sih pintar... tapi cuma anak pungut!”

Saat Karin dan teman-temannya tertawa berderai, di balik salah pintu toilet Cora meneteskan airmata. Sudah sebulan ini teman-teman sekolahnya sering memandanginya sambil berbisik-bisik. Sejak Janne mulai bersekolah di sini, di sekolah yang sama dengannya. Namun, mendengarnya secara langsung ternyata lebih menyakitkan lagi.

Saat teman-temannya sudah keluar, Cora keluar dari toilet. Gadis cilik itu membasuh wajahnya di wastafel. Ia tak mungkin masuk kelas dengan sepasang mata bengkak habis menangis. Saat mengangkat wajahnya dan menatap cermin, ia baru menyadari bahwa cermin itu buram. Seseorang yang terpantul di sana terasa asing...

***

bersambung…

 

Baca juga kisah sebelumnya di:

SATU-Secangkir Capuccino

DUA-Gelas Pecah

TIGA-Tangis Kemarau

Catatan:

  • Copas tulisan ini harus menyertakan URL postingan ini
  • Sumber Ilustrasi di SINI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun