“Terimakasih Pak Johan. Ayo, Janne. Kita turun,” ajak Cora.
Komples sekolah yang luas itu terdiri dari Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Atas. Saat berada di sekolah, Cora malah berada dalam situasi lebih tak nyaman lagi. Sejak Janne mulai bersekolah, seisi kompleks sekolah memuja bocah itu. Guru-guru, siswa, bahkan hingga satpam dan petugas kebersihan, semuanya menyukai Janne.
“Hallo, Little Janne,” sapa Miss Tara saat mereka baru saja memasuki gerbang sekolah.
“Hallo, Miss Tara,” balas Janne dengan mimik lucu.
Guru Janne itu membelai sayang rambut bocah itu. “Kakak Janne ‘kan? Biar saya yang membawanya ke kelas,” katanya pada Cora.
Cora hanya mengangguk dan membiarkan Miss Tara menuntun Janne menuju kelas Taman Kanak-kanak. Saat ini predikatnya hanyalah sebagai “kakak Janne” di sekolah. Pencapaiannya sebagai siswi berprestasi di sekolah bukan apa-apa lagi sekarang. Semua itu tak ada gunanya lagi.
Ketika melangkah menuju kelas, Cora sekilas menoleh ke belakang. Satpam sekolah sedang bercanda dengan adiknya itu. Guru-guru sedang mencubit pipi bocah itu dengan gemas. Keriangan dan kelincahan Janne bagai magnet yang menyedot kekaguman orang-orang di sekitarnya. Mama benar-benar keliru. Janne sama sekali tidak membutuhkan pengawasan dariku. Semua orang sudah menjaganya.
Cora tertunduk lesu. Ia mengurungkan niatnya memasuki ruang kelas. Langkahnya berbelok menuju toilet. Setelah masuk dan menutup pintu, ia duduk termenung di atas kloset. Mengapa semua jadi begini? Tiba-tiba serombongan siswi masuk ruang toilet dan berbincang dengan serunya. Biasanya mereka sambil merapikan diri masing-masing di depan cermin di atas wastafel.
“Eh, Janne itu nggak ada mirip-miripnya sama Cora ya,” celetuk seseorang.
Janne menajamkan telinga. Itu suara Karin, biang gosip sekolah menengah pertama.
“Ya, iyalah... Cora ‘kan anak pungut!” timpal yang lain.