“Maaf, Pa...” ucap Cora bergetar. Hanya itu yang bisa ia katakan saat ini. Dadanya sesak. Ia bagai seorang pesakitan yang terpojok, tak bisa berbuat apa-apa untuk membela diri. Sayangnya, ucapan itu gagal menyurutkan amarah yang sudah berkobar.
“Kamu ingin merusak semuanya?” Tuduhan pun dilemparkan tanpa ampun.
Sekujur tubuh Cora bergetar, menahan gejolak perasaan yang berbaur menjadi satu. Kecewa, geram, pilu dan amarah silih berganti merajam hatinya. Menghantam kesadarannya tanpa belas kasih.
Lagi-lagi dia menyalahkan aku atas apa yang terjadi...
“Pa, sudahlah… kasihan Cora,” lerai Mrs. Howitt lirih. Perempuan lembut itu mulai terlihat ketakutan. Seumur pernikahan mereka, belum pernah sekali pun ia berani menentang suaminya. Kata-kata pria itu adalah titah bagi mereka semua.
“Iya, Pa. Toh, dia nggak sengaja,” Janne akhirnya ikut menimpali karena tak tega melihat kakaknya tersudut. Namun, pembelaan keduanya ternyata malah mengakibatkan kemarahan Mr. Howitt lebih menyala.
“Kalian berdua selalu saja membelanya!”
Sekonyong-konyong, Cora bangkit berdiri dari duduknya. “Aku letih, aku mau tidur sekarang,” ucapnya datar.
“Keterlaluan! Benar-benar...” geram Mr. Howitt sambil mengepalkan tangan. “Sejak kapan kamu jadi kurang ajar begini?” Pria itu turut bangkit dari sofa.
Mama dan Janne memegangi lengan pria itu di sisi kiri dan kanan dengan raut cemas. Mereka menatap Cora dengan heran. Sikap gadis itu terlihat sangat berbeda.
“Mengapa semua memandangiku? Ada yang salah?” tanya Cora. Dagunya sedikit terangkat. Tutur katanya biasa saja. Seolah tak terjadi apa-apa.