Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jika Aku Bukan Dia [Dua-Gelas Pecah]

4 September 2015   07:17 Diperbarui: 4 September 2015   21:50 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Betul juga. Saatnya makan malam”, balas Janne mengedipkan sebelah mata. Seolah sebuah isyarat, bahwa mereka harus bersiap dengan makan malam kaku ala Mr. Howitt.

***

Restoran itu terletak di lantai tiga mall yang sama. Interiornya yang didominasi warna kayu memberikan kesan hangat dan nyaman. Sudah lama keluarga Howitt menjadikan restoran western food ini sebagai favorit keluarga. Terkecuali Cora. Langit-langit mulutnya lebih mencintai kuliner lokal. Tentu saja gadis itu menyimpannya sendiri dalam hati. Mana berani ia membantah Papa?

Saat memasuki restoran, mereka sudah ada di sana. Bergantian Cora dan Janne mencium pipi perempuan yang terlihat cantik di usianya yang sudah melampaui setengah abad itu. Lalu menyapa lelaki yang duduk di sebelahnya. Suasana kaku segera terasa. Untunglah, keriangan Janne sedikit banyak memecahkan kebekuan.

Pasangan Howitt duduk bersisian dan terlihat bagai dua orang asing. Papa seorang pria yang memiliki roman muka tegas dengan hidung yang mencuat lurus dengan warna mata cenderung gelap. Kulit aslinya yang semula pucat dipenuhi flek-flek kecokelatan. Hasil paparan terik matahari di perkebunan bertahun-tahun lamanya. Bibir terkatup milik pria bertubuh tinggi itu menyiratkan ketegasan tak terbantahkan.

Mama justru sebaliknya. Terlihat mungil dan lembut. Rambut dan alisnya yang berwarna cokelat keemasan sungguh menawan. Keindahan rambutnya itulah yang diwariskan pada putri kandungnya. Pupilnya yang berwarna senada dinaungi barisan bulu mata lentik. Hidung dan bibir mungilnya mempercantik perempuan itu. Janne yang tinggi semampai dan berparas jelita benar-benar mencerminkan perpaduan kedua orangtuanya.

Beberapa saat kemudian keluarga Barman tiba dan bergabung di meja. Suasana segera mencair karena kehangatan keluarga itu. Kehadiran putra bungsu mereka, Brian, sepertinya membuat Janne lebih antusias. Makan malam itu berlangsung akrab dan diselingi perbincangan hangat.

“Brian ini sebenarnya punya kakak. Tapi yahhh… anak muda sekarang sulit diatur. Dia menolak berbisnis seperti kita,” keluh Pak Barman.

Mr. Howitt manggut-manggut. “Benar, Pak. Putri bungsu saya juga lebih suka menghabiskan waktu membuat sketsa busana.” Papa melirik Janne dengan ekor mata. “Tahun lalu dia baru pulang dari Paris.”

Orang yang dibicarakan malah sedang mencuri-curi lirikan dengan Brian sambil pura-pura fokus dengan makanan di piringnya. Ketertarikan terlihat jelas di antara keduanya, meski masih sama-sama menjaga sikap.

Dia selalu berhasil membuat lelaki manapun tertarik. Cora mendesah dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun