Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[PDKT] Bilakah Tiba Sang Waktu

5 April 2015   08:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:31 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_407856" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption]

Fitri Manalu, No. 22

“Mungkin kelak aku akan menunggumu di stasiun ini, Fahmi,” janjimu senja itu. Lalu-lalang orang sungguh berisik. Membuat janji itu tereka hanya dalam gerak halus bibirmu. Meski demikian, gemanya bagai nyanyian di hatiku.

Kugenggam jemarimu yang terasa membeku. Kulilitkan syal putih membungkus tubuh mungilmu. Menghalau udara dingin dari rapuhmu. Pasi jelas membayang di paras indahmu. Ragu bersahutan di benakku. Mungkinkah aku sanggup meninggalkanmu, Putriku? Setelah harus berjuang sekian lama untuk meraih hatimu...

***

Empat tahun lalu aku menemukanmu di stasiun ini. Hujan baru saja usai dicurahkan dari langit. Pakaian yang melekat di tubuhmu basah. Kamu menggigil di bangku tunggu. Tatap matamu yang kuyu menggugahku untuk mendekatimu.

“Pakailah.” Kuulurkan jaket sambil berharap kamu mau menerimanya. “Kamu kedinginan...”

Hanya gelengan kecil, “aku baik saja.” Kamu berkata tanpa melihatku, hanya memandangi orang-orang yang melintas.

Kutarik kembali uluran tanganku. “Menunggu siapa?” tanyaku ingin tahu. Bangku di sebelahmu tak terisi. Kuhempaskan tubuhku di sana. Semoga akan ada perbincangan berikutnya. Sudah kepalang, aku ingin menuntaskan rasa ingin tahu.

Kamu menatapku sedetik saja. Kesal. “Seseorang,” katamu acuh. Sikapmu menandakan posisiku telah berubah menjadi lelaki menyebalkan yang ingin tahu urusan orang lain.

Sedetik itu telah mematri hatiku menjadi milikmu, Putriku. Tentu saja kamu tak tahu, sejak itu aku selalu ingin bersua. Bahkan sengaja menanti kehadiranmu di stasiun ini. Mengamatimu dari jauh. Sesekali mencoba menyapa demi mendekati hatimu. Karena kamu selalu datang ke stasiun ini untuk menunggu seseorang yang kamu rindu. Seperti kamu yang tak jemu berharap, aku juga takkan menyerah hingga kamu memberiku satu senyuman.

Senyum itu akhirnya kulihat pada suatu senja. Seorang lelaki tiba di stasiun untuk menemuimu. Lelaki yang selama ini kamu tunggu. Gelakmu terdengar ceria. Menyaksikan pertemuanmu yang berlumur kebahagiaan, kuusap perih diam-diam dari pojok stasiun. Detik demi detik yang berlalu menyiksaku. Tapi setidaknya aku sudah melihat senyuman itu. Meski kau memberinya bukan untukku. Mungkin ini waktunya untuk berhenti dan berbalik pergi.

Tapi suratan kita tertulis lain lagi. Tiba-tiba saja kamu menangis. Suara kereta api yang baru tiba menenggelamkan isakanmu. Lelaki itu berpamitan untuk naik ke dalam kereta. Meninggalkanmu yang terguncang dalam kepedihan. Aku terpaku. Mungkinkah ini kesempatan bagiku? Kuputuskan untuk kembali setia menantimu di stasiun...

***

“Aku harus pergi beberapa lama.” Berat mengatakan itu padamu. Tapi barangkali saja kepergian ini membuatmu mengerti rasa kehilanganku. Semoga saja demikian.

Perlahan-lahan sudut bibirmu bergerak. Akhirnya kamu tersenyum untukku. Sepertinya penantianku hampir usai. Apalagi kamu mengatakan mungkin suatu saat kelak akan menungguku di stasiun ini. Mungkin. Tapi itu lebih dari berarti. Kamu masih ragu dan berdiri di persimpangan. Tapi... aku takkan memintamu memilih jalan. Biarlah waktu yang menuntunmu menapaki jalan pilihanmu nanti.

Sekali lagi kamu tersenyum. “Pergilah, jangan buat aku mengenal rindu,” bisikmu tersipu. Semburat merah mengusir pasi dari rautmu. Lalu menyulapmu seketika menjadi secantik bidadari.

Hatiku terasa hangat. Kugenggam erat-erat sesuatu dalam saku. “Tunggu aku di stasiun ini. Aku pasti kembali bila waktunya telah tiba...” Syal putih yang kulilitkan membuat parasmu semakin jelita. Kupandangi kamu dalam-dalam. Menyimpan wajahmu serapi mungkin dalam ingatan.

Keretaku telah tiba. Aku segera naik dan melambaikan tangan dari atas kereta. Kamu membalasnya sambil tersenyum. Saat kereta mulai bergerak, aku mengeluarkan cincin dari saku. Kudekatkan ke kaca kereta. Sepasang matamu terkejut. Kugerakkan bibirku, tunggu aku kembali. Tetes-tetes bening mulai bergulir di pipimu. Bila sang waktu telah tiba, aku akan kembali di stasiun ini untuk menjemputmu. Tunggulah aku di ujung rindu...

***

Samosir, 5 April ’15 (Tepian DanauMu)

***

Selamat Menempuh Hidup Baru Fahmi Idris dan Putri Gerry...

NB :

·Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

·Silahkan bergabung di groupFB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun