Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Book Girl

19 September 2014   14:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:15 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_360009" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber Gambar: wlbpa.org"][/caption]

“Hei, awas!” sebuah teriakan keras memperingatkannya dari tengah lapangan basket. Kepala diikat kuncir kuda itu menoleh. Terlambat. Bola basket yang menghantam ke arahnya terlalu deras. Tak sempat lagi menghindar. Buku di tangannya terlempar, lalu ia tersungkur...

***

Beberapa menit sebelum siuman, Levita mengendus aroma minyak kayu putih yang kuat. Pijatan ringan di kening dan pelipisnya terasa nyaman. Sepasang mata bulat yang dinaungi bulu mata lentik itu mengedarkan pandang ke sekitarnya.

“Kamu sudah sadar?” Suara lembut Ibu Kinanti menyapa.

Gadis enam belas tahun itu menganggukkan kepala. Kegugupan melandanya begitu menyadari kehadiran sosok menjulang di belakang sang guru matematika. Kapten basket yang telah “menghadiahinya” lemparan bola di siang itu.

“Maaf, tapi aku sudah memperingatkanmu,” ucapnya datar.

Suaranya saja sudah membuat gelagapan. “Eh, oh, nggak apa-apa, kok.”

Sosok berkarisma itu mengedikkan bahu lalu berlalu pergi setelah berpamitan. Meninggalkan getaran pesona di hati murni Levita.

***

“Hei, Ndut!” Lihat-lihat dong!” sentak Monita. Tubuh kapten cheerssang primadona sekolah itu terdorong ke depan.

“Maaf ya, aku nggak sengaja…” ucap Levita cemas.

Beberapa anak yang mengantri di belakangnya cekikikan. Mereka sengsaja mendorong tubuh bongsor Levita agar menabrak tubuh langsing sang “princess”. Mengharapkan tontonan keributan gratis.

“Enak aja bilang maaf… Ketabrak kamu kayak ketabrak truk, tau! Sepasang alis indahnya berkerut. Paras jelitanya terlihat galak.

“Truk kutu buku!” ejek seseorang.

“Awas, truk mo lewat! Minggir, please!”

Suara tawa bergemuruh di kantin itu. Semuanya mencemooh Levita. Menjadikan berat tubuhnya yang jauh melampaui rata-rata sebagai lelucon. Hingga suara lantang menghentikan semua orang.

“Hentikan! Kalian sudah keterlaluan!”

Levita bergetar menahan malu dan tangis. Kali ini ia tak tahan lagi. Selama ini nama aslinya sudah terlupakan. Kecuali guru dan satpam sekolah, seisi sekolah memanggilnya ”ndut” singkatan dari gendut. Tapi, baru kali ini ia diperlakukan hina di depan semua orang. Apalagi di hadapan Diaz, kapten basket yang seminggu terakhir menghiasi mimpi-mimpinya. Usahanya menghentikan semua ini, tak merubah apapun. Hati gadis itu terlanjur hancur. Berlumur rasa malu yang teramat dalam.

Setengah berlari Levita menuju ke toilet. Menguncinya rapat-rapat. Menyesali berat badannya yang “over”. Mengutuki wajah bulatnya yang terpantul pada cermin wastafel. Menyesali lipatan dagu dan lehernya. Meratapi nasibnya sebagai seorang gadis yang memiliki tubuh jauh dari ideal.

***

Sejak kejadian itu Levita menutup dirinya dengan tembok tinggi. Ia berhenti mencoba berteman dengan siapapun. Tak lagi memaksakan diri untuk bertegur sapa. Toh, semua itu sia-sia. Tak ada siapapun yang tulus berada di dekatnya. Benar-benar menginginkannya. Tak seorangpun.

Melewati jam-jam di sekolah justru kini terasa lebih menyiksa lagi. Seandainya mentari lebih cepat bergulir menjemput rembulan. Seandainya ia tak harus bersekolah dan boleh menghabiskan waktu melahap novel-novel kesukaannya dalam kamar sepanjang hari. Tanpa harus berbasa-basi dengan siapapun selain adik, mama dan papa. Keluarga yang akan selalu menerimanya sebagai suatu kelebihan, bukan kekurangan.

“Hei, nggak baik kelamaan melamun!” Seseorang mengejutkannya.

Levita mengeluh dalam hati. Ternyata duduk sendirian di pojok di sekolah ini pun tak bisa meluputkannya dari gangguan. Ketika memalingkan wajah, ia hampir tak mempercayai penglihatannya. Ia menutup novel yang sedang “dibacanya” dengan lamunan.

“Diaz? Kamu?”

“Santai aja. Ekspresimu seolah-olah kamu sedang melihat hantu,” ucapnya sambil tersenyum.

“Oh, nggak. Aku nggak bermaksud…”

Kapten basket itu menyela ucapannya, “boleh aku duduk di sini?”

Mimpi apa dia semalam? Diaz mau duduk di sebelahnya!

“Silah-kan,” jawabnya gugup.

Keheningan menggantung beberapa detik kemudian. Sebelum akhirnya cowok itu mulai bicara, “kok sendiri?”

Mmm... lagi ingin aja.”

“Karena semua orang mengejek kamu?”

“Mungkin.”  Jantung gadis itu berdetak lebih cepat. Pembicaraan ini sepertinya akan berujung pada...

“Kenapa perduli? Tonjolkan saja kelebihan yang kamu punya.”

Kelebihan? Selain bobot tubuhnya, memangnya kelebihan apalagi yang ia punya?

“Raisa, adikku, punya masalah persis sepertimu. Tapi ia jadi gadis yang hebat. Semua orang mengaguminya.”

Benak gadis itu bertanya-tanya. Masa sih orang yang sesempurna ini punya adik seperti dirinya?

Rupanya Diaz menangkap keraguannya. “Nggak percaya? Nih, fotonya.” Ia menunjukkan sebuah foto dari dompetnya.

Foto gadis bertubuh seukuran dirinya itu tersenyum lebar. Terlihat ceria dan bersemangat. Sangat jauh dari kesan muram.

“Kamu tahu, ia akhirnya menjadi pendiri sekaligus ketua klub pecinta tumbuhan di sekolahnya. Hebat, kan?”

“Luar biasa…” desah Levita.

“Kamu juga bisa, kok.”

Levita tercenung. Selain kegemarannya membaca, memangnya apa lagi yang ia punya? Deretan novel yang berderet rapi di perpustakaan mini miliknya tiba-tiba melintas.

“Yang penting kamu mau dan punya keyakinan. Aku bersedia membantu, kok,” imbuh Diaz meyakinkannya.

“Sungguh?”

“Sungguh! Asal… kamu serius.”

Hmmm… baiklah, kucoba.”

“Bersalaman?”

Levita mengulurkan tangan sambil tersipu.

“Untuk semangat baru?”

“Untuk klub buku sekolah ini.”

“Klub buku?” Diaz membelalak penuh tanya.

“Kebetulan cuma itu hobi yang kupunya.”

“Menarik juga. Oke, demi klub buku?”

“Demi klub buku!”

Minggu itu dan minggu-minggu berikutnya menjadi waktu tersibuk bagi gadis itu. Diaz mengajaknya menghadap kepala sekolah hingga pengurus mading. Semua itu agar klub buku diakui sebagai ekskul sekolah sekaligus sebagai ajang promosi. Sebagai siswa yang memiliki segudang prestasi, Diaz mendapat dukungan sepenuhnya. Apalagi rekan-rekannya satu tim dengan sukarela membantu meyakinkan para guru dan siswa. Dalam waktu satu bulan, klub buku sekolahpun resmi berdiri.

Awalnya reaksi para siswi cukup keras. Terutama dari Monita dan teman-teman cheers-nya yang selalu memandang sebelah mata. Kemanapun ia melangkah, sorot mata sinis selalu mengikutinya. Malah mereka tega mencoret-coret pamflet klub buku yang ditempel di mading sekolah. Hingga suatu hari, pamflet itu raib entah kemana.

Mental Levita sempat terpuruk. Bahkan menangis. Ia malah sempat berpikir untuk menghentikan rencananya. Namun Diaz terus menyemangatinya. Membuatnya kembali bangkit dan berjuang.

***

Hari ini adalah pertemuan pertama klub buku setelah sebulan lamanya berdiri. Hanya ada sepuluh anggota yang mendaftar. Mereka kategori siswa dan siswi yang dipandang “aneh” di sekolah. Tapi bagi Levita, mereka awal yang baik untuk memulai.

Saatnya memberikan sambutan sekaligus membuka pertemuan. Levita dilanda kegugupan luar biasa. Ia melirik ke arah Diaz. Cowok itu mengangguk dan tersenyum ke arahnya. Semangatnya bangkit kembali. Sore itu Levita terlihat berbeda. Rambut kuncir kudanya sekarang tergerai dengan potongan model baru. Sapuan tipis bedak dan lipgloss membuatnya terlihat lebih segar.

“Selamat sore teman-teman!”

Seluruh anggota klub menyambut salamnya.

“Terimakasih karena sudah mau bergabung dengan klub ini. Semoga kita bersenang-senang dan betah di sini…”

Semuanya bertepuk tangan.

“Awalnya, saya mencintai buku sekedar menghibur diri. Terutama untuk melupakan kekurangan saya. Kalian semua bisa melihatnya…”

Seluruh anggota terkekeh. Sejenak ruangan itu menjadi riuh.

“Dulu saya sangat membenci diri sendiri. Saya lupa, mencintai diri sendiri adalah jalan terbaik mensyukuri kehidupan…”

Levita menarik nafas sejenak lalu menatap lembut pada kapten basket sekolah. Sesaat mereka bertatapan melempar senyum. Segera terdengar suara-suara menggoda.

“Sungguh tak disangka, kebencian itu malah mengantarkan saya pada cinta. Tentu saja dengan buku sebagai mak comblang-nya…”

Kalimat gadis itu membuat ruangan kembali ramai. Diaz, mengacungkan jempol ke arahnya. Sang kapten telah mengungkapkan perasaannya seminggu lalu lewat pembatas buku dalam bingkisan novel baru. Pipi chubby Levita merona merah. Tapi ia harus menyelesaikan kalimatnya.

“Selamat bergabung bagi kita semua. Mari mencintai buku seperti kamu mencintai diri sendiri. Semoga cinta juga menemukanmu!”

Kalimat terakhirnya mengundang tepuk tangan meriah. Sore itu berakhir manis. Kebencian gadis itu pada dirinya pupus tak bersisa. Berganti dengan hangatnya cinta dari keluarga, teman-teman seklub, juga Diaz… Bahkan kekurangan, ternyata tak mampu menahan datangnya cinta...

***

Samosir, 18 September ‘14(Tepian DanauMu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun