Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hitam Putih dalam Kelabu

31 Oktober 2014   23:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:00 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14147483861455781701

[caption id="attachment_370970" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber Gambar: kupang.tribunnews.com"][/caption]

***

Selalu alasan yang sama. Kau bilang putih, tapi kau mewarnainya dengan hitam. Kau membuatku bimbang. Membiarkanku tersesat dalam kelabu. Lalu membantai hatiku dengan sebuah garpu. Sesulit itukah membebaskan kejujuran berbicara?

“Aku miliknya, Dee,” ucapmu selalu.

“Dan aku milik lelaki itu,” tukasku cepat.

“Kita berdua tak mungkin…”

Senyum putus asa kuberikan pada kepengecutanmu lalu sebuah mantra kutukan diam-diam kurapalkan untuk kebodohanku. Kau… tak pernah mampu memaknai ketulusanku. Seharusnya, sejak awal aku mematri hal itu dalam nuraniku. Sebelum terjatuh dalam sikap tak acuh munafikmu yang menggodamku lagi dan lagi.

“Lalu… aku harus bagaimana?” tanyaku pasrah.

“Lupakan aku… Pergilah selamanya.” Kau mengucapkan kalimatmu datar saja. Tanpa ekspresi, tanpa mimik kehilangan. Sama sekali hampa.

Crash… segores luka kau gurat dalam di sana. Aku yakin, perihnya takkan memudar hinggaujung usiaku. Selamanya aku akan meratap menyesali semua dosaku. Terutama, kesalahanbesarku karena telah mencintaimu.

Kuhela nafas panjang. Mungkin saja, ini kali terakhir aku melakukannya. Kutegakkan kepala menatapmu. Aku─bukanlah pecundang.

“Terimakasih, karena kau telah memberiku hitam. Mengakhiri lelahku dalam kelabu. Hari ini akan kuingat sebagai putih. Bersalaman?”

Kau mengangguk, lalu mengulurkan perpisahan. Kusambut dengan senyuman. Bagaimanapun, aku ingin mengakhiri semua ini dengan sisa indah kenangan.

Sedetik jabat tangan dan lambaian selamat tinggal. Kuharap setelah ini, derita segera berlalu dan langitku akan terlihat lebih biru...

***

Di sinilah aku sekarang. Berdiri menantang tepian laut. Memandang ombak-ombak yang berkejaran memecah dan singgah di telapak kakiku. Membiarkan butiran pasir kasar mengusir keletihan yang mengendap di sana. Menghirup udara bebas dalam satu tarikan nafas ringan. Menghembuskannya cepat-cepat. Aku tak ingin lagi membebani paru-paruku dengan sesak.

Kurebahkan penatku di hamparan pembaringan pasir yang memutih. Hmmm… seharusnya sejak dulu aku melakukannya. Sendiri di tengah alam seluas ini menatap keindahan langit biru di atasku. Berteman camar-camar yang sesekali melintasi cakrawala. Menikmati keanggunan mereka dalam keheningan.

Selintas pikiran tiba-tiba menyelinap bagai pencuri. Selepas inikah kau di sana? Apakah langitmu biru seperti langitku? Berbagai pertanyaan berseliweran di kepalaku. Masih saja aku perduli tentangmu. Untuk apa? Sedangkan kau, mungkin sedang tertawa di sana...

Kemarahan menguasaiku. Mengapa aku harus perduli? Seharusnya segala tentangmu hanyalah episode usang yang sudah berakhir. Sudah usai. Saatnya terbebas dari kelabu, memulai segalanya dengan putih. Aku berhak melewati hariku dengan senyuman!

Kuraup segumpal pasir dengan kedua telapak tangan. Kulemparkan jauh-jauh menuju lautan. Butiran pasir melesat bertebaran di udara. Lalu menghilang di antara riak-riak laut lepas.

“Pergilah! Pergilah jauh-jauh! Jangan pernah kembali!” teriakku lantang. Rongga dadaku mendadak ringan dan kosong. Ketegangan surut menjadi ketenangan yang damai.

Sesuatu memanggilku terus berjalan ke dalam air. Membiarkan separuh tubuhku terendam di dalamnya. Membungkusku dengan kepasrahan abadi. Lalu aku menenggelamkan diri perlahan. Sesaat melebur dalam keheningan...

***

Kembali ke hiruk-pikuk sudah semestinya. Aku kembali seutuhnya dengan gairah baru. Tapi... nasib masih saja enggan melepaskan kita. Mempermainkan kita. Pagi itu, kita dipertemukan lagi di sebuah persimpangan.

Aku hendak melangkah pergi, namun sapamu menghentikanku. “Kabarmu baik, Dee?”

Itu bukan urusanmu lagi. Ingin aku meneriakkannya di gendang telingamu. Tapi... itu artinya aku menafikan ketenangan yang telah tercipta. Menyia-nyiakan segala upaya.

“Baik-baik saja. Kau lihat sendiri, aku sehat,” jawabku sewajarnya.

“Boleh kita bicara sebentar?” pintamu.

Samar kulihat resah membayang di wajahmu. Ada getir di sana. Masa bodoh, bisikku ingkar dalam hati. Karena sebaliknya, sebuah anggukan kecil yang kuberikan. Haruskah kali ini aku kembali terjerat kelabu?

“Sebenarnya ada apa?”

“Aku minta maaf untuk masa lalu...”

“Sudah kulupakan,” kataku singkat. Sungguh, aku tak sanggup lagi mengurai basa-basi.

“Aku masih merindukanmu...”

“Semua itu masih ada artinya?”

Kau tertunduk rikuh. Merenggut ketenanganku. Semua ini hanya buang waktu. Aku harus mengakhirinya.

“Sedikitpun aku tak berniat merenggutmu darinya dan kau... takkan bisa merenggutku dari lelaki itu. Kau tahu itu. Tapi kau... selalu menyakitiku.”

“Sabar, Dee. Tenangkan dirimu.” Kau terlihat khawatir.

Dulu, kata-katamu itu pasti meredakan amarahku. Tapi kali ini, aku benar-benar muak.

“Tidak, untuk kali ini tidak. Setelah aku bersabar dengan semua sikapmu. Selalu mencoba memahami dan mengikuti maumu. Aku letih...”

“Jadi, kau tak memaafkanku?” bisikmu pilu.

Tiba-tiba semua ini terlihat lucu! Aku mulai terbahak-bahak. Menertawakan semua lakon sandiwara pedih ini. Mengejek kehidupan yang mempermainkanku. Lalu, aku mulai menangis tersedu-sedu setelahnya...

“Dee... Dee...!” Kau mengguncang-guncang tubuhku cemas.

Saat ini aku tak ingin mendengar apapun darimu. Aku hanya merindukan langit biru dan tepian laut itu. Sungguh, aku harus pergi kesana sekarang...

***

Samosir, 31 Oktober ‘14 (Tepian DanauMu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun