[caption id="attachment_384760" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber Foto : haideakiri.wordpress.com"][/caption]
Langkah terseok itu semakin lunglai. Debu melapisi kerut-merut raut menua yang dihantam oleh waktu. Tubuh ringkih itu dirajam musim-musim penderitaan. Tapi tetap saja setia dengan segala ikhtiar. Dia─ibuku.
Subuh membangunkan mimpinya yang tak pernah lelap. Hari demi hari, mingggu demi minggu. Hingga tahun demi tahun, harinya dimulai dengan segala keriuhan. Mulai dari seisi rumah, perkakas, hingga perutku yang lapar. Sosoknya mampu mengerjakan segala rupa secepat aku mencium aroma harum masakannya. Perempuan itulah─ibuku.
Lorong-lorong kota masih sunyi. Orang-orang masih terlena berselimut angan. Tapi langkah ibu telah menapak sambil mengucap doa. Gerobak sayuran peninggalan almarhum ayah dipenuhi muatan harapan. Semoga hari memberi rejeki barang sesuap. Tak boleh surut apalagi menyerah, ibu tegar menggelar tekad. Hidup harus diraih dan bukan untuk disesali, ujarnya selalu.
Jerih perempuan tabah itu tak sia-sia. Aku tumbuh dewasa oleh keringatnya. Mengenal angka dan baca berkat kegigihannya. Kala hidup sudah memilihku, kutinggalkan ibu dan gerobak yang sangat dicintainya seperti ia mencintai kenangan tentang ayah. Di depan rumah sederhananya, perempuan itu melambaikan tangan padaku dan pada lelaki yang kini memilikiku. Lambaian itu mengantarku pergi dari dunianya. Jauh melintasi lautan.
***
Sedang apa ibu sekarang? Pertanyaan itu kerap melintas di pikiranku. Sebentar, sebelum lenyap dalam tumpukan pekerjaan dan kesibukan yang menyita seluruh waktu dan perhatian. Lagipula, kini aku juga menjelma menjadi seorang ibu. Sekarang kasihku berbagi. Kerinduanku terhadap pelukan ibu disamarkan oleh tangan-tangan mungil yang membutuhkan dekapanku. Ingatan tentang perempuan tua dengan gerobaknya itu mulai terkikis...
“Kapan kita mengunjungi Ibu?” tanya lelaki itu. “Sudah lama, Ri. Kamu pasti merindukannya.”
“Kita masih sibuk, Bi. Pekerjaanmu juga aku. Anak-anak juga masih kecil. Repot,” kilahku sambil sibuk mencermati sejumlah angka di monitor.
Lelaki itu bergumam tak puas. “Sudah terlalu lama. Kamu tak khawatir? Ibu sudah tua...” Ini sudah yang kesekiankalinya suamiku mengingatkan aku tentang ibu mertuanya.
Kupalingkan wajah dari pekerjaan yang harus kuserahkan besok pagi itu. “Tentu aku khawatir. Aku ini ‘kan putrinya. Tapi bukan sekarang...”
Sepasang tangan terbuka pasrah di udara. “Ya, sudah... kalau itu maumu. Kuharap kamu takkan menyesalinya.”
Menyesali? Mana mungkin? Ibu pasti sangat mengerti kesibukan putrinya. Dia yang selalu mati-matian memperjuangkan masa depanku. Kutepiskan pikiran tentang ibu dan mencoba kembali fokus ke monitor. Tunggulah ibu, aku akan menjemputmu dari rumah itu...
***
Rumah itu kosong. Pintunya terkunci. Rerumputan liar dan sampah dedaunan memenuhi halaman di depannya. Cat di dinding papannya memudar. Beberapa papan malah nampak akan terlepas. Sungguh tak terurus. Kami tiba siang itu dengan benak dipenuhi tanya. Kemana ibuku?
Seorang tetangga yang kebetulan melintas segera kutanyai. “Bu, Ibu tahu ibuku pergi kemana?” tanyaku panik.
Pandangan sinis ditujukan ke arahku. “Kemana saja kamu? Sungguh tega menelantarkan ibumu!” hardiknya marah. Sebentar kemudian beberapa tetangga lainnya berdatangan mendengar suara keras itu. Suasana menjadi ramai.
Aku terkesima. Menelantarkan? Sebenarnya apa yang terjadi? Melihatku yang terpukul, suamiku menyuruhku diam dan menenangkan diri. Kubawa anak-anakku menepi ke sebuah pohon rindang di samping rumah dan membiarkan lelaki itu berbicara dengan mereka.
Suamiku mendatangiku beberapa saat kemudian. “Ri, kamu harus tabah mendengar ini...”
Jantungku berdetak lebih hebat dari biasanya. “Katakanlah...”
“Sebulan yang lalu, gerobak ibu ditabrak sebuah truk. Hancur. Ibu hanya terserempet. Tapi...”
“Cukup!” Tangisku meledak diserang putus asa bercampur ketakutan. “Dimana dia? Dimana?” raungku.
Suamiku memegang lenganku. “Mari kita temui dia...”
Kuanggukkan kepala lemah. Bersama seorang tetangga, kami bergegas pergi mencari ibu...
***
Lorong-lorong kota telah ramai. Jalan-jalan mulai mengeluarkan hawa panas. Saat melintasi sebuah kedai, kudengar sekelompok orang berbincang-bincang.
“Kasihan penjaja sayuran itu. Sejak gerobaknya hancur dia jadi terguncang...” kata seseorang.
“Ya, benar. Kasihan, dia terus memanggil-manggil nama anaknya,” timpal yang lain.
“Masa anaknya tidak tahu ibunya begitu?”
Suara riuh rendah bernada kecaman segera menyahuti pertanyaan itu. Amarah dan kegeraman terdengar. Kedai itu semakin ramai.
Penjaja sayuran? Gerobak hancur? Apa mereka sedang mereka sedang membicarakan ibuku? Batinku resah. Tapi pertanyaan itu tak perlu dipertanyakan. Sosok tubuh tua sedang berjalan tertatih ke arahku. Ibu.
“Mentari.... Mentari...” suara ibu terdengar letih dan parau. Nada suaranya terdengar seperti saat ia sedang berjualan sayuran. “Mentari... Mentari...” Suara itu terdengar lagi. Ibu menoleh ke kanan kiri seperti sedang mencari pembeli. Tapi aku tahu, sebenarnya ia sedang mencariku, karena ia memanggil namaku...
“Sejak kehilangan gerobak ayahmu, ibumu jadi begini. Sekarang orang-orang memanggilnya penjaja mentari,” bisik tetangga yang menemani kami.
Sosok kering dengan wajah cekung itu sudah berada di hadapanku. Namun ia tak mengenaliku. Meski aku memekik, akulah Mentari yang ia cari. Sorot matanya tetap kosong. Ia terus saja menoleh ke kiri dan ke kanan.
Kami menghambur, bersujud di telapak kakinya. Terisak. Mengucap ribuan maaf dan ampun. Tetapi semua percuma. Perempuan tua itu telah berada dalam dunianya sendiri... Penjaja mentari itu─ibuku.
***
Samosir, 22 Desember ’14 (Tepian DanauMu)
***
Selamat Hari Ibu Bagi Ibuku Tercinta & Seluruh Ibu Hebat di Tanah Air
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H