Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maaf Untukku

27 Januari 2015   14:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:18 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14223175951250382049

[caption id="attachment_393424" align="aligncenter" width="700" caption="Sumber Foto: logikreasi.com "][/caption]

Awalnya hanya sebuah pesan singkat di sebuah layanan jejaring sosial. Tiga bulan yang lalu, sebuah pesan darinya tak sengaja mengusik kenangan lama. Menghadirkan nostalgia masa lalu di antara kami. Sekedar mantan kekasih semasa kuliah yang tak sengaja menjadi “kekasih” baru di dunia maya.

Mulanya kami sering bertukar pesan tentang teman-teman kuliah dulu. Seiring waktu, Tora malah lebih kerap menanyakan kabarku. Komunikasi kami pun semakin intens. Perhatian-perhatian kecil darinya kadang membuat jengah, namun perlahan menumbuhkan kangen. Terlebih sampai saat ini, ia masih melajang.

“Sudah makan, Tia?” Ia mengirim pesan di suatu siang.

“Ini baru mau makan, kamu?”

“Sama dong… Aku juga mau makan siang bareng teman sekantor.”

Oya?” balasku.

“Tapi kayaknya… pasti lebih asyik makan siang berdua denganmu.”

Hatiku berbunga. “Ah, kamu gombal.”

“Serius! Sayang ya, kantor kita berjauhan,” sesalnya.

“Ya…”

“Tapi… kapan-kapan boleh dong makan siang bareng kamu,” pancingnya.

Nggak, ah,” elakku.

“Takut suami marah?” kejarnya.

Nggak juga.”

“Jadi… kapan kita bisa ketemu?”

Aku tak membalasnya. Bukan kali ini saja ia mengajakku untuk bertemu. Sejujurnya, aku tak seberani itu. Akal sehat mengingatkanku untuk menghentikan semua ini. Walau tak dapat kupungkiri, aku menikmatinyabahkan mulai tergantung dengan segala perhatiannya.

Beberapakali pula Tora meminta nomor ponselku. Tak pernah kuberikan. Suamiku pasti curiga bila sahabat lelaki istrinya justru lebih sering meneleponku ketimbang dia. Namun, aku tak pernah khawatir suamiku akan mengutak-atik gadget-ku dan melihat pesan-pesan kami. Sejak menikah kami sudah sepakat, urusan yang satu ini adalah privasi yang tak boleh dilanggar.

Suamiku bukanlah lelaki romantis seperti Tora. Sewaktu kami masih berpacaran, hanya sesekali ia mau menelepon menanyakan kabarku. Hal itu semakin jarang dilakukannya sejak kami menikah tiga tahun yang lalu. Setahun terakhir, ia malah tak pernah meneleponku kecuali untuk urusan yang maha penting.

Masalah perhatian ini kerap membuatku jengkel. Suatu waktu, aku mengajukan protes padanya.

Kamu kok nggak pernah telepon aku di kantor?” sungutku.

Loh, kamu ‘kan kerja? Nanti konsentrasimu terganggu,” jawabnya enteng.

Salah ya, memberi perhatian pada istri sendiri?”

“Ya, jelas nggak salah. Tapi kita ketemu di rumah tiap hari, kan?”

“Tapi, suami teman-temanku semuanya sering telepon,balasku tak mau kalah.

“Kita kan bisa bicara di rumah. Kamu kok jadi aneh…”

Kamu selalu sibuk… Baca surat kabar-lah, nonton TV-lah. Punya suami kok nggakperhatian,” rajukku.

“Sudahlah… yangpenting itu hati.Aku juga nggak keberatan kamu online terus, kan?”jawabnya tenang lalu kembali asyik dengan surat kabar di hadapannya.

Aku terdiam meski dalamhati dongkolnya bukan main.Suamiku selalu memberi jawaban skak mat. Tak pernah ada sedikitpun celah untuk berkutik. Andai saja ia bisa lebih memperhatikanku. Perlahan tapi pasti, aku mulai membandingkannya dengan Tora...

***

Hariku-hariku terasa lebih bergairah karena komunikasiku dengan Tora semakin intens dan hangat. Bahkan, aku mulai menimbang-nimbang menerima ajakannya untuk makan siang bersama. Perhatian darinya mampu membuatku melupakan ketidakpedulian suamiku. Hingga suatu sore, aku dikagetkan oleh permintaan suamiku yang tak biasa.

“Tolong buatkan aku akun di jejaring sosial ya,” pintanya.

Aku terheran-heran. “Nggak salah nih? Bukannya selama ini kamu bilang alergi?”

Bagi suamiku, fungsi utama internet adalah memudahkan untuk searching informasi atau mengirim surel. Ia selalu mengomentari kebiasaanku online berjam-jam di jejaring sosial. Buang-buang waktu, komentarnya selalu.

Cuma pengen tau kabar kawan-kawan lama. Sekalian pamer foto-foto kita. Mereka penasaranlihat rupa istriku yang cantik,” ujarnya santai.

Hmmmpaling bisa kalau ada maunya. Minta tolong kawan sekantor sana… Berteman di dunia maya kan cuma buang-buang waktu…” Aku pura-pura merajuk.

Ah, malu minta tolong sama mereka. Masa umur segini baru belajar eksis. Tolong ya…”

Senyumku merekah mendengar nada suaranya. Suatu keajaiban ia bersikap begitu manis padaku. Sore itu juga aku memenuhi permintaannya. Tidak hanya satu, melainkan dua akun sekaligus. Plus memberikan kursus singkat cara menggunakannya. Ia terlihat sangat antusias.

Beberapa hari berlalu. Kini aku punya “saingan” online di rumah. Suamiku mulai meninggalkan kebiasaannya membaca surat kabar. Siaran televisi pun mulai sering ia abaikan. Ia larut dalamhobi barunya. Kami seolah berada di dua sisi dunia yang berbeda pada saat bersamaan.

Suatu waktu, iseng-iseng aku bertanya kepadanya. “Seru ya? Sampe senyum-senyum segala…”

Ia tertawa. “Aku baru tau kabar kawan kuliahku dulu. Menarik juga ternyata. Pantesankamu betah berjam-jam…” Pandangan matanya tak lepas dari gadget di genggamannya.Seratus persen fokus.

Hatiku mulai diliputi rasa jengkel. “Kamu kok kayaknya nggak menghiraukanku?”

Ah, itu perasaanmu aja. Lagi asyik, nih. Kamu juga sama, kan?”

Lagi-lagi begitu. Kata-katanya telak mengenai hatiku. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi mengungkitnya. Namun entah mengapa, aku mulai terusik dengan kebiasaan barunya itu. Aku merasa ia telah berubah...

***

Akhir-akhir ini hatiku semakin resah. Pesan-pesan dari Tora yang biasanya menghangatkan hatiku kini terasa berbeda. Perubahan sikap suamiku membuatku terus bertanya-tanya. Aku memutuskan untuk mencari tahu.

Siang itu, aku menelusuri akun jejaring sosialnya saat jam makan siang tiba. Selama ini, tak pernah terpikir olehku untuk melakukannya. Selain disibukkan oleh pekerjaan, waktuku tersita habis melayani perhatian yang dicurahkan mantan kekasihku.

Awalnya, aku tak menyadari keganjilan itu. Setelah memperhatikan dengan seksama, aku baru menyadarinya. Ada satu nama yang kerap muncul di akun suamiku. Seorang perempuan bernama Reni. Komunikasi di antara mereka terkesan sangat intim. Tiba-tiba saja, aku merasa gelisah…

Baru saja suamiku meletakkan tasnya sepulang dari kantor, aku menghadiahinya’ dengan sebuah sindiran. “Tadi di kantor, online terus ya?”

Suamiku yang baru tiba nampak kebingungan. “Kerja dongOnline juga kalau ada yang perlu. Ada apa, sih?”

”Masa? Banyakan kerja atau online-nya?

“Maksudnya? Aku nggak ngerti…”

Nggak ngerti atau pura-pura?”

Ngomong yang jelas. Aku makin bingung…” Ia memegang pundakku.

Aku tak tahan lagi. “Siapa Reni? Siapa dia?” cecarku.

“Reni siapa? Maksudnya apa?”

“Teman dekatmu di dunia maya. Masih nggakngaku?” desakku mulai emosi.

Pelan-pelan suamiku menurunkan tangannya dari pundakku. Tatapan matanya yang tenang berlawanan dengan apa yang kubayangkan.

Ayo duduk dulu.” Ia membimbingku ke sofa. Kami duduk berdampingan di ruang tamu.

Tolong jawab sekarang juga. Siapa dia?” Aku kembali mendesaknya.

Suamiku menatap mataku dalam-dalam. “Ia mantan kekasihku semasa kuliah dulu

Jawaban itu membuat amarahku mulai membuncah. Segala kemungkinan segera berseliweran di kepalaku. Jangan-jangan mereka sudah…

Nggak usah khawatir… Nggakpernah terjadi apa-apa di antara kami.Suamiku seolah membaca isi pikiranku. “Sekarang, aku yang akan bertanya. Siapa Tora?”

Aku terperanjat. Hatiku yang membara seakan mendadak dicelupkan kedalam air dingin. Wajahku seperti ditampar. Jangan-jangan suamiku…

Melihatku hanya diam, ia meneruskan ucapannya. Aku sudah tau semuanya. Maaf, aku tak sengaja melihat pesan-pesan itu di gadget-mu. Jujur, aku sangat terkejut dan kecewa. Tapi.. aku mencoba berpikir, mengapa semua ini sampai terjadi…” tuturnya perlahan.

Sepatah kata tak mampu keluar dari bibirku. Aku hanya mampu membuang pandang.

Suamiku menghela nafas panjang. “Itulah mengapa aku minta dibuatkan akun di jejaring sosial. Untuk mencari jawaban dan memahami persoalan ini. Aku menggunakan Reni untuk menyadarkanmu dari kekhilafan. Membuatmu mengerti. Tapi… aku selalu yakin, kamu takkan melewati batas…”

Sungguh tenang nada bicaranya. Ketenangan inilah yang dulu membuatku jatuh hati padanya. Kepercayaannya telah membuka mataku untuk melihat dengan jelas betapa mulia hati lelaki di sampingku ini…

“Maafkan aku…. Aku benar-benar minta maaf…” Aku memohon dengan suara bergetar. Setetes air mataku bergulir jatuh. Rasa sesal menyesakkan hatiku. Terlintas kembali semua pesan-pesanku kepada Tora. Sungguh, aku merasa sangat berdosa…

Lelaki bijak itu merangkulku lembut. “Aku sudah memaafkanmu. Aku juga minta maaf karena selama ini kurang memperhatikanmu…” akunya terus terang.

Selama pernikahan kami, seingatku inilah kalimat terindah yang pernah diucapkan olehnya. Ia memaafkan kekhilafanku sebagai seorang istri sekaligus mengakui kekurangannya sebagai seorang suami dengan lapang dada. Mendengar ucapannya, hatiku dipenuhi kesejukan. Bebanku lenyap sudah.

Malam itu kami saling berbicara hingga larut. Mengeluarkan isi hati dan membuka pintu maaf. Kedamaian kembali hadir dalam mahligai kami. Dua hati berjanji, takkan ada lagi yang boleh hadir dalam mahligai pernikahan ini. Hanya aku dan dia. Selamanya...

***

Samosir, 27 Januari ’14 (Tepian DanauMu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun