[caption id="attachment_394222" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber Gambar : m.tribunnews.com"][/caption]
Kepingan Dua
Medan, April 2013
“Risa, aku pergi dulu ya,” ujar gadis semampai berambut sebahu itu sambil menyambar sebuah tas selempang coklat dan helm. Jam istirahat siang lima menit lagi. Ia harus bergegas.
“Ya, jangan lupa bawakan aku gorengan,” sahut temannya sambil menatap layar monitor. Setumpuk buku baru saja tiba tadi sejam yang lalu. Mereka sedang meng-input datanya.
Gadis berambut sebahu tersenyum menggoda. “Tidak sekalian minta kubawakan abang penjualnya yang keren itu, Ris?”
“Hahaha… ada-ada saja kamu, Del. Sudah, pergi sana!” Carissa mengibaskan tangannya menyuruh rekan kerjanya segera berlalu. Adella tergelak dan segera bergegas meninggalkan perpustakaan menuju tempat parkir.
Suasana perpustakaan daerah siang itu tak begitu ramai. Hanya ada segelintir orang yang masih setia menelusuri rak demi rak untuk mencari sebuah buku. Selebihnya lebih memilih berselancar di perpustakaan maya. Cukup satu klik saja maka informasi apapun di belahan dunia manapun dapat diperoleh. Tapi hal itu tidak berlaku bagi gadis berusia dua puluh tiga tahun itu. Kecintaannya terhadap buku tak terbatas. Untuk itulah, selepas sekolah menengah atas ia memilih kuliah di jurusan ilmu perpustakaan. Dan di sinilah ia sekarang. Tiga tahun telah berlalu sejak ia diterima menjadi seorang pustakawati.
Panas kemarau sedang hangat menggigit. Trotoar dan aspal jalanan bagai bara api. Pucuk-pucuk daun menguning berselimut debu tipis. Bangunan sepanjang jalan terlihat kusam. Para pengendara motor memakai masker melawan debu yang menyesak. Sambil sesekali menyalip agar segera terlepas dari hawa panas yang menyiksa.
Melewati Masjid Raya Medan, Adella memacu motor maticnya sekencang yang ia mampu. Pesan singkat dari Tiara tadi sungguh mencemaskan. Segera datang─seseorang sedang membuat keributan di depan rumah kita! Untung saja Carissa sudah berbaik hati mengizinkannya pergi. Padahal pekerjaan mereka belum selesai setengahnya.
Adella berusaha menyalip kijang innova yang melaju di depannya. Ups, tiba-tiba saja mobil itu melambat. Nyaris saja. Sekali lagi dicobanya. Berhasil. Sesaat kemudian ia sudah kembali berjubel dengan puluhan motor. Lagi-lagi lampu merah. Gadis itu menahan dongkol sekaligus cemas. Arloji hitam di balik lengan cardigan warna biru laut yang dikenakannya menunjukkan pulul dua belas lewat dua puluh menit. Astaga, jarak sedekat ini saja sudah memakan waktu dua puluh menit!
Gadis itu bernafas lega terlepas dari lampu merah. Ia kembali memacu motor menyusuri Jalan Sisingamangaraja. Belok kiri memasuki Jalan Saudara, akhirnya tiba juga di kontrakan. Belum lagi melepas helm, Tiara sudah menarik lengannya.
“Ayo, cepat! Si pembuat onar sudah menunggu di dalam,” sergah kawan serumahnya itu. Keakraban mereka terjalin sejak masih kuliah di kampus yang sama. Tiara yang mengambil jurusan manajemen akhirnya memilih mengelola sebuah butik di sebuah mall. Mengaku fashionista sejati sejak masih mahasiswi, penampilan gadis itu memang selalu up to date dibanding yang lainnya.
“Loh, kok?”
“Sudah, masuk saja.” Setengah memaksa Tiara mendorong tubuh sahabatnya.
Baru saja kakinya melangkah memasuki pintu…
“Surprise!!!” Suara koor serempak memecah ruang tamu sempit berukuran empat kali empat meter itu. Hamburan kertas aneka warna mengguyuri tubuhnya. Disusul riuh terompet yang memekakkan telinga.
Selena, Ruth, dan Tiara tertawa lebar. Satu persatu sahabatnya sejak kuliah itu menghambur memeluknya erat sambil mengucapkan selamat. Keharuan memenuhi rongga dada gadis yang genap berusia dua puluh tiga tahun itu. “Terimakasih ya semuanya… Kalian memang yang terbaik,” ucapnya tulus.
“Tak perlu bilang apa-apa. Sekarang ayo tiup lilinnya!” perintah si tomboy Selena sambil menunjuk black forest mungil dengan lilin yang menyala di atas meja. Mantan mahasisiwi teknik itu memang tak pandai berbasa-basi.
“Jangan lupa pejamkan mata dan sebutkan permohonanmu.” Ruth mengedipkan mata pada Tiara dan Selena.
“Ada hal yang aku tak tahu?” tanya Adella curiga.
“Tidak, itu perasaanmu saja. Ayo, tiup lilinnya,” desak Selena tak sabar.
Saat gadis semampai itu meniup lilin, ketiga sahabatnya bertepuk tangan. Ketika memejamkan mata ia sebenarnya tak tahu harus memohon apa. Setumpuk surat yang mulai menguning dan seraut wajah bocah laki-laki berambut ikal memenuhi benaknya. Lagi-lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Ya Tuhan, tolong pertemukan aku dengannya sekali lagi. Adella berbisik dalam hati.
Baru saja membuka sepasang kelopak matanya, dara manis itu mendapatkan kejutan kedua. Seraut wajah lelaki tepat berada di depan wajahnya. Mata kecoklatan dan sepasang alis tebal yang membingkainya terasa tak nyata. Lelaki tampan itu tersenyum padanya.
“Halo, namaku David. Selamat ulang tahun ya.” Lelaki itu mengulurkan tangannya.
Alih-alih menyambut uluran tangan si tampan, Adella hanya tegak mematung. Ketiga sahabatnya segera saja menggoda.
“Kamu mau membuat tangan David pegal ya?” sindir Ruth sang “emak”. Sesuai dengan julukannya, ia memang paling gemar mengomeli mereka semua. Usia pemilik apotik yang dulu kuliah farmasi itu setahun lebih tua dibanding mereka semua.
“Ini loh, kado dari kami semua. Suka, nggak?” goda Tiara.
Wajah oval Adella memerah. Ada-ada saja mereka ini. Jangan-jangan mereka cerita kalau ia belum pernah pacaran, pikirnya kecut.
Selena menegurnya, “sudahlah, jangan pikir macam-macam. David ini langganan Tiara di butiknya. Sengaja kami undang untuk menemanimu di ulang tahunmu ini.”
“Terimakasih ya semuanya,” ucapnya setengah terpaksa. Ide mereka kali ini sungguh tak biasa. “Terimakasih kehadiranmu, David. Namaku Adella, panggil saja Della,” katanya menyambut uluran tangan lelaki itu.
“Nah, gitu dong,” Tiara kesenangan. “Sulit loh, meyakinkan si tampan agar mau ke sini,” sudut matanya mengerling pada David yang tersenyum-senyum geli.
“Seandainya belum ada Bang Togu, aku juga mau kok kenalan…” celetuk Ruth dengan ekspresi pura-pura genit.
Huh, Adella mengumpat dalam hati. Parasnya berubah warna untuk yang kesekiankalinya. Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan ini untuk meledeknya habis-habisan.
“Maaf semuanya, aku nggak bisa lama-lama. Masih ada pekerjaan,” katanya mencoba berkelit.
Ketiga sahabatnya mencium gelagatnya. “Makan sama-sama dulu. Memangnya kamu mau kembali bekerja dengan perut keroncongan?” delik Ruth.
“Dan jangan lupa, malam ini kamu harus jalan dengan David, oke?” imbuh Selena dengan tampang galak.
Tak ada jalan lain. Ia harus menuruti mereka semua kalau tak ingin terus salah tingkah di depan “orang baru” itu. Makan siang pun berlangsung ramai dan memerahkan telinga Adella. Jadi sasaran empuk pembicaraan di depan orang asing bukanlah hal yang menyenangkan. Apalagi bila orang itu tampan dan sesekali mencuri pandang sambil tersenyum geli. Bahkan ayam pinadar pesanan Tiara yang menggoda itutak mampu menggugah selera makannya kali ini.
Setelah makan siang usai, menanti saat malam tiba malah lebih meresahkan. Waktu seakan berlari tak kenal kompromi. Jam pulang kerja rasanya tiba lebih awal. Adella benar-benar gugup. Gelisah tak menentu. Harus bagaimana bersikap, berbicara tentang apa, mengenakan apa, segala macam pertanyaan berkelebat silih berganti. Tak salah mereka sampai memaksanya begini rupa. Seumur inipun dirinya masih amatir soal berkencan dengan lelaki!
Malam itu David datang tepat pukul delapan malam. Mengenakan t-shirt hitam dan jeans senada, lelaki itu terlihat menarik. Adella kehilangan setengah rasa percaya dirinya. Berulangkali mematut diri plus sapuan make-up tipisnya di depan cermin tak membuat dirinya merasa lebih baik. Entah mengapa begitu sulit untuk tersenyum dan bersikap rileks.
Tiara yang susah payah menata penampilannya nyaris marah. Setengah memaksa menyuruhnya agar lebih santai di hadapan David. Untung saja pelanggan setia butiknya itu tak kehilangan keramahannya. Sabar dan memaklumi. Hal itulah yang membuat Adella perlahan-lahan akhirnya bersikap lebih hangat. Makan malam pun berjalan cukup akrab. Mencoba saling menjajaki mengenai diri masing-masing. Lelaki itu memang mampu menciptakan suasana yang menyenangkan.
Tiba kembali di kontrakan gadis semampai itu segera membersihkan sisa riasan yang menempel. Pandangannya tertumbuk pada sebuah kotak aksesoris berwarna biru di atas meja rias. Seraut wajah itu kembali melintas. Seolah mengingatkannya kembali mengapa ia selalu dirundung ragu...
***
Bersambung...
***
Samosir, 31 Januari '14 (Tepian DanauMu)
Baca kepingan sebelumnya di sini:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H