Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kepingan Hati Adella #4

3 Februari 2015   03:57 Diperbarui: 4 September 2015   18:50 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14228853511839951801

[caption id="attachment_394555" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber Gambar: madingsekolah.net"]

Kepingan Empat

Segalanya kini bergulir penuh romansa. Kehadiran sobat kecil yang selalu dirindukannya ibarat badai yang memutarbalikkan keadaan. Seluruh hidupnya kini terpusat pada lelaki yang telah menjelma dewasa itu. Pada tatapan hangat dan senyuman yang membuat hatinya kalang kabut. Pesona sosok bertubuh menjulang dan berambut ikal sebatas leher itu teramat kuat menjeratnya. Membuatnya nyaris kehilangan akal.

Penjelasan Damar tentang putusnya komunikasi di antara mereka membuat hati gadis itu tersentuh. Kedua orangtua lelaki itu terjebak dalam pertengkaran yang tak henti-hentinya. Bahkan kekerasan kerap mewarnai pertikaian di antara mereka. Sobat kecilnya itu sangat terpukul. Apalagi ketika ibunya buru-buru mengajaknya pergi dari rumah pada suatu malam. Damar kecil harus tinggal berpindah-pindah bersama perempuan itu demi menghindari sang ayah yang terus mencari mereka. Hati Adella terenyuh mendengar kisah masa lalu Damar yang pahit.

Sahabat-sahabatnya menentang keras ketika mengetahui gadis berambut sebahu itu semakin mengakrabi masa lalunya. Terutama Tiara. Teman serumahnya itu tak sungkan-sungkan menunjukkan ketidaksukaannya.

“Apa sih, yang kamu harapkan darinya? Kamu mau menukarkan lelaki yang bersamamu sekarang dengan masa lalumu? Pakai akal sehatmu, Del!” cecarnya dengan nada tinggi.

“Maaf, aku merasa menemukan diriku kembali, Ra. Aku…”

“Sudahlah!” sentak sahabatnya itu. “Menemukan dirimu yang mana? Sejak kamu bersama David semuanya toh baik-baik saja. Malah dirimu jauh lebih ceria dibanding dulu!” geramnya.

Adella menelan ludah. Ia tak menyangka reaksi sahabatnya sekeras itu. “Ra, please… Jangan hakimi aku seperti itu,” bantahnya tak rela.

Sahabatnya itu memasang tampang mengejek. “Menghakimi? Bukannya aku cuma bisa memberimu angin lalu? Sekarang semuanya terserah padamu.”

Sejak saat itu Tiara bersikap dingin padanya. Acuh tak acuh tiap kali ditanya. Demikian juga dengan Ruth dan Selena. Bisa jadi ia sudah menceritakan semuanya pada mereka. Adella benar-benar serba salah. Tak tahu harus bagaimana bersikap melunakkan hati para sahabatnya.

Tapi saat bersama Damar, segala masalah seolah tertepiskan. Senyuman hangat Damar mampu menenangkannya. Lelaki itu banyak berubah. Keceriaan yang dulu melekat kuat dalam dirinya sekarang menjadi ketenangan yang menghanyutkan. Lebih banyak diam dan tenggelam dalam dunianya sebagai forex trader. Namun entah mengapa, saat-saat mereka bersama hati Adella bergejolak begitu hebat. Sosok lelaki itu merasuki hati dan pikirannya seolah takkan berhenti. Semakin lama rasa itu semakin erat mendekapnya. Laluperlahan-lahan melenyapkannya dalam bayang-bayang lelaki itu. Dunianya kini hanya  Damar seorang.

Tentu saja perubahan sikapnya dirasakan oleh David. Setelah Adella beberapakali menolak ajakan lelaki periang itu untuk bertemu, lelaki itu nekat mendatanginya ke perpustakaan saat jam istirahat tiba. Padahal Adella selalu melarangnya datang ke tempatnya bekerja. Kurang nyaman rasanya. Namun, terlambat untuk menghindar saat Carissa memberitahukan kedatangan David siang itu.

“Kutunggu di depan. Kita makan siang sama-sama,” ajaknya datar. Tak seperti biasanya, nada suaranya terdengar tak bersemangat.

Belum sempat ia menjawab, sosok itu sudah berbalik melangkah meninggalkan mereka berdua. Adella menatap teman sekerjanya ragu. Sepintas ia sudah menceritakan masalahnya dengan David. Tapi Carissa malah menyuruhnya segera pergi untuk menyelesaikan masalah.

Sepanjang perjalanan menuju restoran miliknya, David hanya diam di belakang kemudi. Kekakuan mengambang dalam keheningan. Tak ada yang memulai pembicaraan. Suasana itu terbawa hingga mereka tiba di restoran.

“Duduklah,” pinta David masih dengan nada datar.

Setengah kikuk Adella duduk di hadapannya. Mmm… bagaimana kabarmu?” tanyanya ragu. Baru tiga minggu tak bertemu, perasaan asing itu terasa lekat. Adella membuang pandang ke arah pintu masuk.

“Justru aku yang hendak bertanya. Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Tolong, lihat aku,” tegas lelaki itu sambil menatapnya dalam-dalam.

Saat mengarahkan pandang pada David, sesuatu di hati Adella bergetar. Ada yang berubah pada wajah yang biasanya ceria itu. Lingkaran hitam membayang di bawah pelupuk mata lelaki itu. Janggut halus tumbuh memenuhi dagunya. Ekspresinya terlihat tak bersemangat. Senyum itu telah menghilang dari sana.

“Tak ada apa-apa. Aku hanya… hanya…”

“Ingin bersamanya,” potong David cepat. “Lelaki yang bertemu denganmu di sini waktu itu. Siapa dia sebenarnya?”

Gadis itu tersentak. Saat David menghampiri mereka siang itu, ia mengenalkan Damar sebagai teman kecilnya yang lama tak bertemu. Kenyataannya memang demikian. Apakah Tiara menceritakan sesuatu pada David? Hati Adella bertanya-tanya.

Seolah membaca pikirannya, lelaki itu berkata, “Tiara tak bicara apa-apa. Hanya aku yang selalu menebak-nebak. Sejak bertemu dengannya kamu selalu menghindariku. Benar, ‘kan?”

Sepertinya tak ada jalan lain. Ia tersudut dan harus menjelaskan semuanya. Ini tak adil bagi David. “Dia memang teman kecilku. Kami sangat akrab semasa di Samosir. Lalu dia pindah ke Medan dan akhirnya komunikasi kami terputus,” jelasnya.

“Lantas?”

“Saat tiba di kota ini aku mencari alamatnya. Tapi ia sekeluarga sudah pindah. Tak disangka malah bertemu di sini. Maaf, akhir-akhir ini aku memang sering bersamanya...”

Lelaki itu terlihat tak sabar. “Itu alasanmu menghindariku? Kamu tahu bukan itu maksudku, ‘kan?”

Akhirnya waktu itu datang juga. Ia harus jujur mengakui perasaannya. “Maaf, sebenarnya… kurasa... aku mencintainya,” ucapnya pelan sambil tertunduk. Rasanya lega mengucapkan sebuah kejujuran. Sebagian bebannya terangkat sudah. Meskipun Adella cemas akan reaksi lelaki itu, ia tak tega bila harus berbohong pada lelaki yang telah memberikannya hari-hari penuh keceriaan itu.

Sungguh di luar dugaan, reaksi yang diperlihatkan David bertolak belakang dengan apa yang ia bayangkan. Raut wajahnya malah terlihat berubah cerah. “Terimakasih atas kejujuranmu. Selama ini itu yang aku harapkan darimu, Del. Selamat ya...” cetusnya sambil mengulurkan tangan.

Reaksi lelaki itu membuat Adella terperangah. Ia diam tak bergeming. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Hanya menatap lelaki di hadapannya dengan raut bingung.

Hei, ayo salaman! Aku tulus mengucapimu selamat. Kita belum pernah saling mengungkapkan perasaan. Tapi kamu harus tahu satu hal─aku benar-benar tulus padamu.” David berhenti sejenak. Sedetik kemudian tangan gadis itu sudah berada dalam genggamannya. “Jika kamu bahagia, maka aku turut bahagia, Del,” katanya pasti.

Lagi-lagi sebuah percikan menggetarkan hati Adella. Percikan itu perlahan merambat lalu meluas memenuhi rongga dadanya. Membuatnya dilanda kebimbangan yang mendebarkan. Baru kali ini ia merasakannya sejak mengenal lelaki itu. Tapi, ia sungguh tak tahu harus bersikap atau berbuat apa. Karena sesaat kemudian, bayangan wajah teduh milik Damar berkelebat dan kembali memenuhi pikirannya. Situasi ini benar-benar membingungkannya.

“Sudahlah, tak usah berpikir macam-macam. Kamu sungguh-sungguh mencintainya?” tanya David ingin memastikan.

Perasaan gundah kembali menyerang gadis itu. Mengapa semua ini jadi begitu rumit? Meski berat, akhirnya ia menganggukkan kepala. Sesaat setelah menangkap setitik getir di seulas senyum milik David, barulah ia mengerti. Sebagian hatinya sudah mulai dimiliki lelaki ini. Hanya saja, rasa yang baru disadarinya itu terlambat tiba. Kata-kata sudah terlanjur diucapkan. Sekarang, semuanya tiada guna lagi dihentikan. Ia hanya harus melangkah dan menggapai apa yang di depannya...

***

Saat tiba di kontrakan Damar sore itu, gadis berambut sebahu itu nyaris ternganga. Barang-barang berserakan di mana saja. Meja dan kursi di ruang tamu tak tersusun rapi sebagaimana mestinya. Beberapa kotak dan bungkusan makanan terletak di atas meja. Buku-buku berserakan di atas meja kerjanya. Lantai juga terlihat jarang tersentuh ujung sapu. Gadis itu mengelus dada dan menahan keinginannya untuk segera menata rumah mungil itu menjadi sebagaimana harusnya.

“Maaf ya, agak berantakan. Silahkan duduk,” tawar Damar. Ketika pandangan gadis itu mengarah pada tumpukan buku di atas kursi yang akan didudukinya, dengan sigap ia terburu-buru menyingkirkannya agar gadis itu bisa duduk.

“Terimakasih,” ucap Adella. Sejenak mereka berdua hanya duduk dalam keheningan. Sesekali Damar kembali dengan sikap tenangnya yang diam. Sesekali matanya melirik ke arah monitor yang menyala di atas meja. Sepertinya sebelum kedatangan Adella ia sedang memantau fluktuasi nilai emas, mata uang, minyak atau sejenisnya. Gadis itu masih kurang memahami pekerjaan lelaki itu. Meski ia pernah menjelaskan sekedarnya. Kedatangannya sepulang bekerja ini memang tiba-tiba. Sudah seminggu lelaki itu tak memberinya kabar. Ia  mengkhawatirkannya.

Sebelum mulai bicara, gadis itu berdehem. “Mar, biasanya selalu seperti ini ya?” tanyanya sambil memandang ke sekeliling.

“Oh, iya, maaf. Mungkin karena aku cuma tinggal sendirian. Jadi beginilah. Lagipula aku lebih banyak berada di depan layar monitor,” jawabnya seadanya.

Mata gadis itu menelusuri pakaian yang dikenakan Damar. T-shirt yang dikenakannya terlihat sedikit kumal. Mungkin sudah beberapa hari tak terkena busa deterjen. Jauh berbeda dengan David yang nampak bersih dan rapi. Ah, mengapa ia jadi teringat lelaki itu? Sudah sebulan berlalu sejak mereka terakhir bicara. Sejak itu pula ia kehilangan kabar darinya.

“Melamun?” tegur lelaki di hadapannya. “Boleh aku kembali sibuk sebentar?” lanjutnya.

Spontan saja gadis itu mengangguk. “Tunggu dulu,” cegahnya.

“Ya?”

“Mengapa seminggu ini tak ada kabar darimu?”

“Oh, itu… Maaf, aku lupa. Mama memintaku datang ke rumahnya. Seminggu kemarin aku tinggal di sana,” jelasnya. Raut wajah lelaki yang baru dua minggu ini menjadi kekasihnya itu terlihat tenang saja.

Adella sedikit terkejut melihat ekspresi lelaki itu. Setidaknya ia berharap Damar akan menunjukkan sedikit penyesalannya. “Oh, begitu. Jadi... seminggu ini kamu tidak masuk kantor?”

Damar tersenyum samar. “Masuk, kok. Rumah suami baru ibuku malah lebih dekat ke kantorku.”

Hening menggantung kemudian. Seakan keduanya kehabisan kata-kata untuk diucapkan.

Oke, silahkan lanjutkan pekerjaanmu,” ucap Adella itu akhirnya.

Saat mencuri pandang ke arah lelaki yang sedang fokus pada monitor itu di hadapannya itu, hati gadis itu mulai menghangat. Ia memang sangat menyayangi lelaki ini. Lalu, tanpa Adella sadari, tangannya yang cekatan mulai bergerak menyingkirkan sampah sisa makanan di ruang tamu yang berantakan itu. Ibarat sulap, tak sampai sejam kemudian ruangan itu itu sudah terlihat bersih dan rapi. Namun, betapa kecewanya hati gadis itu tatkala sedikitpun Damar tak menghiraukan apa yang ia lakukan. Seluruh perhatiannya hanya tertuju pada apa yang ada di hadapannya. Seakan-akan Adella tak berada di sana. Lelaki itu tenggelam dalam dunianya...

***

Bersambung...

***

Samosir,  2 Februari '14 (Tepian DanauMu)

 

Baca kepingan sebelumnya di sini :

Kepingan Satu

Kepingan Dua

Kepingan Tiga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun