[caption id="attachment_331554" align="aligncenter" width="640" caption="Pameran Sejarah Perkeretaapian Indonesia di Hall Stasiun Jakarta Kota, 21-22 Juni 2014 (Arsip Pribadi)"][/caption]
Ketika langkah kaki terhenti sejenak di depan sebuah foto superbesar Stasiun Jakarta Kota tempo doeloe, perlahan pikiran mulai melayang menjauhi masa kini, terbang ke masa lalu. Di balik foto superbesar Stasiun Jakarta Kota, terpampang foto lokomotif tua zaman dulu sedang berjalan di atas rel kereta.
Di bagian paling atas foto lokomotif, tiga kata terangkai sempurna menyeruak ke dalam hati siapapun yang membacanya, “Save Our Heritage”. Warisan sejarah masa lalu yang harus diselamatkan. Sejarah besar perkeretaapian Indonesia, tatkala kereta api menjadi transportasi primadona pada abad ke-19, tepatnya masa pemerintahan Hindia Belanda.
[caption id="attachment_331555" align="aligncenter" width="640" caption="Stasiun Jakarta Kota tempo doeloe (Arsip Pribadi)"]
[caption id="attachment_331557" align="aligncenter" width="640" caption="Save Our Heritage (Arsip Pribadi)"]
Foto bicara
Pameran bertajuk “Sejarah Perkeretaapian Indonesia” di Hall Stasiun Jakarta Kota dalam rangkaian acara Kota Tua Creative Festival 2014, 21-22 Juni lalu, seperti ruang dimensi masa lalu. Foto superbesar Stasiun Jakarta Kota tempo doeloe dan lokomotif tua di baliknya seakan menjadi pintu gerbang memasuki dunia “hitam putih” perkeretaapian Indonesia.
Di tengah-tengah ruang pameran, pandangan mata menyapu sekat-sekat berwarna hitam berjejer rapi dengan foto hitam putih dilengkapi keterangan singkatnya. Foto-foto sosok Gubernur Jenderal Hindia Belanda, khususnya yang terkait kepemimpinannya di era pembangunan dan perkembangan perkeretaapian Indonesia berada paling depan di jajaran foto lainnya.
[caption id="attachment_331559" align="aligncenter" width="640" caption="Ruang pameran (Arsip Pribadi)"]
Sosok Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyorotkan peran besar proyek pembangunan jalur rel kereta api juga stasiun. Adanya sistem tanam paksa yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda berkorelasi dengan melimpahnya hasil perkebunan. Hal tersebut memerlukan transportasi yang lebih cepat dan efisien.
Selain itu, didukung perkembangan jaringan kereta api di Eropa yang dinilai telah berhasil memecahkan masalah transportasi. Usulan pembangunan jaringan rel kereta api sempat mengalami perdebatan tentang siapa yang membangun rel.
Jalur kereta api pertama di Pulau Jawa ditandai dengan pembangunan jalur rel kereta api dari Semarang-Surakarta-Yogyakarta pada 1862, kemudian jalur kereta api dari Semarang ke Tanggung di Grobogan resmi dibuka pada 1867. Stasiun Semarang menjadi stasiun kereta api pertama di Indonesia.
Sajian epik
Decak kagum sejarah perkeretaapian lewat foto hitam putih tak henti-henti bergumam dalam hati. Apalagi melihat jembatan jalur kereta api terbentang memotong sekaligus membelah perbukitan di sekitarnya. Betapa pembangunan jembatan rel kereta api memerlukan tenaga-tenaga manusia yang besar.
Tiang-tiang besi baja jembatan rel kereta api nan kokoh bernilai sempurna saat rangkaian kereta api berjalan mulus di atasnya. Itulah yang terlihat pada foto rangkaian kereta api sedang melewati jembatan lengkung kereta api Cikubang. Sang kuda besi begitu gagah, asap yang keluar dari cerobong asap lokomotif ibarat menerjang angin yang berembus kencang sepanjang perjalanan.
[caption id="attachment_331560" align="aligncenter" width="640" caption="(Kiri) Jembatan Cikubang dan lintasan rel kereta api di Priangan dilihat dari udara. (Kanan) Gerbong penumpang dan restorasi kelas satu (Arsip Pribadi)"]
Foto di bawahnya tidak kalah menakjubkan. Keelokan pandangan mata amat dimanjakan dengan panorama perbukitan bahkan lembah. Petak-petak sawah dan ladang bagai permadani indah, lintasan jembatan kereta api melengkung di tengah-tengahnya. Panorama jembatan kereta api di Priangan dilihat dari udara.
Di sisi sebelahnya terdapat foto gerbong restorasi kereta api kelas satu. Selanjutnya, gerbong kereta api kelas satu yang mewah dengan meja kecilnya. Interior kayu, gorden di jendela kereta juga tempat duduk yang empuk. Kedua tempat duduk dengan lengan di kiri-kanan saling berhadapan dibatasi sebuah meja.
Mata pun beralih pada foto-foto bangunan stasiun zaman dulu. Bangunan Stasiun Bandung tahun 1930-an, tepat di depannya berdiri tugu peringatan hari jadi ke-50 (5 Juni 1926) Staatsspoorwagen yang direncanakan ir E H de Roo dari Gementee Bandoeng yang juga berfungsi sebagai salah satu Titik Triangulasi Kota Bandung.
[caption id="attachment_331564" align="aligncenter" width="640" caption="(Kiri atas) Stasiun Bandung tempo doeloe (Arsip Pribadi)"]
Nostalgia keramaian
Potret foto hitam putih sejarah perkeretaapian Indonesia bukan hanya menyajikan beragam lokomotif, gerbong, ataupun rangkaian kereta api secara keseluruhan. Lintasan jalur kereta api berupa jembatan beserta pemandangan alam dan permukiman penduduk terasa hambar bila tidak ada potret aktivitas manusia di sekitarnya.
Kendaraan jalan raya milik perkeretaapian perusahaan swasta Hindia Belanda, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatshappij (NIS) berupa kendaraan roda empat ala zaman dulu, di belakang kemudi, seorang supir tengah beraksi sesuai tugasnya. Tepat di belakang kendaraan roda empat tersebut, tali kekang dua ekor kuda sedang ditarik sang “kusirnya”. Lebih tepatnya terlihat seperti “gerobak” yang ditarik dua ekor kuda, sementara sang “kusir” duduk di atasnya.
[caption id="attachment_331565" align="aligncenter" width="640" caption="Kendaraan milik NIS dan keramaian Stasiun Purwosari (Arsip Pribadi)"]
Di sebelah kuda berdiri, seorang lelaki berseragam lengkap dengan topi berpose mengarah ke kamera. Entah sang lelaki termasuk bagian dari NIS atau juru parkir. Di dinding kendaraan tertulis “NIS” dengan ukuran yang cukup besar. Pertanda bahwa kendaraan tersebut milik NIS.
Seringkali potret manusia di stasiun-stasiun tempo doeloe masih sepi penumpang. Wajar saja sebab jumlah penduduknya tidak sepadat di zaman sekarang, kita bisa menghitung dengan jari. Namun, ada kalanya keramaian stasiun begitu padat, semua orang tumpah ruah memenuhi sudut-sudut stasiun sampai rel kereta api.
Orang-orang hilir mudik sambil membawa bingkisan yang terlihat berat, dipanggul di punggung. Tua, muda, dan anak-anak memenuhi untuk antre naik kereta api. Ada yang memakai sarung, topi lebar, maupun caping. Penumpang yang sudah ada di dalam kereta api ikut melongok ke luar menyaksikan keramaian penumpang lainnya.
Suasana keramaian itu terpapar dalam potret Stasiun Purwosari, keramaian penumpang kereta api terjadi setelah mengikuti proses grebeg maulud di Kraton Surakarta. Beralih ke suasana stasiun di Jakarta (Batavia), tampak potret Stasiun Manggarai dengan aktivitas manusia tengah bongkar muat. Barang-barang dipikul di pundak.
Hal yang tidak kalah menarik, yakni orang-orang tersebut tidak memakai alas kaki alias nyeker. Topi tidak pernah absen dari atas kepala, celana pendek cukup menghiasi penampilan mereka yang ikut bongkar muatan. Tak ketinggalan, potret manusia yang sedang menunggu kereta api lewat untuk melintasi jalan raya.
Foto di bawah bongkar muat, di kejauhan beberapa orang menunggu kereta lewat di perlintasan rel kereta api. Ada yang berjalan kaki juga naik sepeda. Tidak jauh dari mereka, searah dengan kereta api melaju, delman berjalan tenang.
Moda transportasi darat pada masa itu ikut dimeriahkan delman atau andong, seperti foto yang terlihat di depan Stasiun Bandung sekitar tahun 1884. Belasan bahkan puluhan delman siap menyambut penumpang yang ke luar dari stasiun. Pak Kusir setia menunggu dan mengantar penumpang sampai tempat tujuan.
Betapa rindu menyaksikan hidup pada zaman-zaman dulu dari foto, ketika delman yang ditarik kuda masih berjaya. Sebuah nostalgia yang tidak ditemukan di abad ke-21, ketika segala transportasi sudah modern. Ketika kita ke luar dari stasiun, ojek, angkot hingga bus hilir mudik mudah dijangkau.
Dua dimensi
Menjelajahi sejarah perkeretaapian Indonesia lewat pameran foto hitam putih sungguh berharga. Aset dokumentasi foto yang seluruhnya dari Belanda mampu membuka wawasan tentang perjalanan perkeretaapian Indonesia. Suasana aktivitas manusia beserta kehidupan di dalamnya.
Saat memasuki ruang pameran pun kita sudah “terlempar” ke masa lalu. Hall Stasiun Jakarta Kota kini seakan menyerap energi waktu dua dimensi, menjadi jembatan penghubung antara masa kini dan masa lalu. Pameran tersebut dilengkapi dengan pemutaran video dokumenter hitam putih sejarah perkeretaapian Indonesia.