Mohon tunggu...
Fitri Haryanti Harsono
Fitri Haryanti Harsono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis di Kementerian Kesehatan RI

Akrab disapa Fitri Oshin | Jurnalis Kesehatan Liputan6.com 2016-2024. Lebih banyak menulis kebijakan kesehatan. Bidang peminatan yang diampu meliputi Infectious disease, Health system, One Health, dan Global Health Security.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Kartini RTC] Dokter Orang Rimba

19 April 2015   21:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:54 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cdn-media.viva.id

[caption id="" align="aligncenter" width="597" caption="Ilustrasi cdn-media.viva.id"][/caption] Nomor 73, Fitri Haryanti HSA Baju dokter tersampir di bahu Linca. Ia gagal menyelamatkan dua nenek yang terkena diare akut. Bukan ia telat mengobati, melainkan ketidakmahiran meyakinkan pengobatan medis kepada Orang Rimba.

Sebagian besar Orang Rimba di pelosok hutan Jambi menolak konsumsi obat-obatan medis. Mereka tetap percaya tanaman dan bahan alami hasil racikan tangan Orang Rimba. Anehnya. Tiap kali ada pemeriksaan kesehatan, mereka ikut hadir.

“Kali ini pasienku meninggal lagi, Res. Kenapa mereka tidak pernah meminum obat yang kuberikan? Kenapa pula mereka memeriksakan diri bila tak mau minum obat?” tanya Linca heran. Ia melemparkan tubuh anggunnya ke sofa.

“Mungkin mereka hanya penasaran dengan alat-alat kedokteran dan obat-obatan. Kupikir itu sesuatu yang aneh dan ‘wah’ di mata mereka,” jawabku sambil memberikan segelas teh manis kepadanya.

“Tapi aku hampir lima bulan di sini. Dan tak memeroleh kemajuan apapun,” Linca mengeluh pelan.

“Kuyakin ada momen tepat agar mereka paham,” hiburku. Linca menganggukkan kepalanya.

“Hmm… Lalu bagaimana kabar keluargamu? Apa sudah mengobrol dengan mereka?” tanyaku hati-hati. Linca menggelengkan kepala.

Empat tahun aku mengenal Linca sebagai rekan seperjuangan di jurusan kedokteran. Ia pernah bilang keinginannya menjadi dokter ditentang keras keluarga. Ia gadis berdarah Orang Rimba. Selama kuliah di ibu kota Jambi, ia dilarang pulang ke hutan serta dianggap mengkhianati tradisi Orang Rimba, bersentuhan dengan dunia medis.

Penugasan kami untuk mengobati Orang Rimba sekiranya membuka pintu Linca berkesempatan pulang ke pangkuan keluarganya.

“Aku masih belum diterima kembali. Ibuku meninggal karena sakit sesak napas. Kami hanya meminumkan obat dari air rebusan tanaman. Setelah kupelajari di perkuliahan, ternyata itu gejala radang paru-paru. Itulah alasan aku menjadi dokter,” ucap Linca. Aku menepuk bahunya pelan. Kami terdiam sejenak.

Keheningan pecah tatkala pintu klinik diketuk dan seorang bocah rimba teriak meminta tolong.

“Bu Dokter… Bu Dokter… Kakak Monsur jatuh dari pohon. Darahnya banyak sekali. Bu Dokter dipanggil Kakak Monsur,” lapor si bocah.

“Ya, Tuhan. Apa sudah diobati?” tanya Linca panik. Monsur adalah kakak lelaki Linca. Ia amat menyayangi Linca.

“Nanti saja bicaranya di jalan. Ayo, kita segera ke sana!” kutarik lengan Linca. Perjalanan masuk hutan Orang Rimba dengan berjalan kaki perlu waktu satu jam. Aku mempersingkat waktu sepuluh menit mencapai perbatasan masuk hutan dengan motor.

***

“AAAA… sa…kitt… Ayah, apa Linca sudah datang? Tanaman-tanaman ini tidak bisa cepat menghentikan darah,” erang Monsur. Lembaran-lembaran daun lebar menutupi punggung sang pemuda. Darah masih bercucuran deras.

“Tak usah Linca. Ayah bisa mengobatimu. Tunggu dan bersabarlah. Lukamu pasti berhenti,” balas Ayah sedikit ketus.

Di luar pondok rumah Monsur, Orang Rimba riuh mengkhawatirkan Monsur. Mereka harap kondisi Monsur tidak parah. Tiba di depan pondok, Linca memburu masuk. Ia tak memedulikan sorotan mata Orang Rimba yang memandang kehadirannya.

“Ka…kak… Aku datang. A…pa… kabar Ayah?” salam Linca gugup melihat ayahnya duduk di sisi Monsur. Ia berdiri mematung di depan pintu pondok.

“Terima kasih, kau telah datang, Dik. Kemarilah,” suruh Monsur.

“Tak perlu ke sini. Kamu tak diterima lagi di keluarga ini,” sergah Ayah dingin.

“Tanggungjawab Linca sebagai dokter, Yah. Berikanlah kesempatan padanya. Dia bersusah payah belajar kedokteran,” sahut Monsur menenangkan ayahnya.

“Dia melawan tradisi kita, Monsur. Obat medis bisa membawa penyakit parah. Itulah kenapa kita berpegang pada obat-obatan alami,” balas Ayah. Monsur menghela napas. Lelah berdebat terus dengan ayahnya.

Aku terpaku melihat perdebatan ayah-anak.

“Karena ibu, Linca jadi dokter. Bukan berarti melawan tradisi bahwa obat-obatan alami kita lebih buruk. Semua obat-obatan punya peran masing-masing. Pengobatan medis tidak seburuk yang Ayah pikirkan,” tegas Linca. Gugupnya hilang.

“Tapi satu hal yang Linca pegang; Linca ingin jadi yang terbaik buat keluarga. Buat seluruh Orang Rimba kita, Ayah. Bukankah suatu kebanggaan, seorang anak rimba berhasil menjadi dokter. Identitas Linca sebagai Orang Rimba tetap dibawa,” lanjutnya.

Aku tak percaya Linca begitu berani. Ayah Linca menggeser duduknya. Pertanda mempersilakan Linca mendekati Monsur. Luka akibat duri-duri di sekitar pohon makin membiru.

Aku membantu Linca menyiapkan obat. Tangannya gesit mengobati Monsur.

“Terima kasih, Ayah,” gumam Linca tanpa menatap ayahnya. Ayah Linca hanya memandangnya diam.

Luka Monsur perlahan membaik.

“Terima kasih, Dik. Mungkin Ayah masih setengah hati menerimamu, lama-lama hatinya akan luluh. Yang penting kakak senang kamu hadir di sini. Selamat datang kembali di rumah,” ujar Monsur. Linca mengangguk. Titik-titik airmata haru mengalir perlahan.

Aku menjadi saksi keharuan tersebut. Linca menatapku tenang. Kuacungkan jempol padanya. Ia tersenyum simpul.

Kamu hebat, Linca. Menjadi dokter pertama Orang Rimba, batinku.***

Depok, 19 April 2015

[caption id="attachment_379184" align="aligncenter" width="616" caption="Rumpies The Club@dok "]

1429452485451813216
1429452485451813216
[/caption] Untuk membaca karya-karya peserta lainnya silakan menuju ke sini

Dan juga silakan bergabung di sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun