[caption id="attachment_312858" align="aligncenter" width="640" caption="Kain batik (print) motif Asmat yang dijahit sendiri oleh Dr. Wanny Rahardjo W (Staf Pengajar Arkeologi UI) (Dok: Pribadi)"][/caption]
Momen hari kasih sayang bukan hanya ditujukan kepada orang-orang tercinta dan terdekat saja, baik keluarga, sahabat, rekan sejawat, kekasih maupun pasangan. Kita juga bisa mengungkapkan cinta kepada kebudayaan Tanah Air, khususnya terhadap produk budaya bangsa sendiri.
Inilah salah satu cara merangkai ungkapan cinta dalam momen hari kasih sayang terwujud pada pameran bertajuk “Cinta Wastra Nusantara” yang sedang berlangsung di Selasar Gedung II, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Wastra berasal dari bahasa Sanskerta (kata serapan) yang berarti sehelai kain yang dibuat secara tradisional. Wastra Nusantara dapat dikatakan sebagai kain tradisional Indonesia dengan motif yang sarat makna. Kekayaan budaya Indonesia melahirkan beragam jenis wastra yang berbeda-beda dan unik di tiap daerah.
Wastra yang dipamerkan seluruhnya milik pribadi beberapa staf pengajar Departemen Arkeologi UI. Mereka berbagi cerita tentang wastra yang dimiliki melalui pameran ini. Beragam wastra yang indah terpajang di dalam meja kaca, antara lain kain tenun, kain ulos, songket, dan batik dari berbagai daerah di Nusantara.
Setiap wastra memiliki cerita yang berharga bagi sang empunya.Di dalam meja kaca dilengkapi keterangan “cerita cinta” di balik wastra yang dimiliki juga tertera nama sang empu kain tradisional.
Momen
Pemberian hadiah di hari momen spesial tak akan terlupa, seperti cerita dari Dr. Ninie Susanti. Saat promosi doktor, ia memperoleh hadiah kain tenun (selendang)dari salah satu sahabatnya yang berasal dari Nusa Tenggara Tmur.
[caption id="attachment_312861" align="aligncenter" width="427" caption="(Atas-Bawah) Kain tenun (selendang) dari NTT dan kain Sasirangan dari Bumi Kalimantan (Dok: Pribadi)"][/caption]
Tidak lengkap rasanya berkunjung ke suatu daerah tanpa membawa buah tangan, apalagi baru pertama kali menginjakkan kaki di tanah orang lain. Andriyati Rahayu, M.Hum menuliskan kisah perjalanan saat pertama kali menginjak Bumi Kalimantan untuk menyaksikan Festival Banjar di Banjarmasin pada 2013.
Buah tangan yang dibeli, yaitu kain Sasirangan yang didominasi warna merah. Toko yang menjual kain Sasirangan ternyata sangat jauh dari tempat festival yang diselenggarakan. Perjuangan membeli kain tersebut cukup menguras tenaga dengan berjalan kaki.
Dr. Heriyanti Ongkodharma mendapatkan penghargaan berupa kain ulos dari Sumatera Utara tatkala menghadiri reuni SMA pada tahun lalu. Perpaduan warna merah, ungu, kuning, putih, biru, maupun hijau begitu memanjakan mata. Menurut tradisi Batak, kain ulos tersebut sebagai tanda penghargaan berharga bagi prestasi atau jasa seseorang.
[caption id="attachment_312863" align="aligncenter" width="427" caption="(Atas-Bawah) Kain ulos dari Sumatera Utara dan sutra Bugis (Dok: Pribadi)"][/caption]
Kain sutra berwarna merah muda, merah muda, dan merah tua membuat mata berbinar cerah. Perpaduan warna yang lazim disukai perempuan, merah muda. Ajeng Ayu A, M.A ternyata jatuh hati pada sutra asal Makassar, sutra Bugis. Sutra Bugis itu merupakan buah tangan dari sang suami saat bertugas ke luar kota.
Berbeda dengan Ninie, Ajeng, dan Heriyanti yang memperoleh kain tradisional melalui pemberian ataupun Andriyati yang berhasil membeli kain Sasirangan, Dr. Wanny Rahardjo W harus menjahitkan sendiri kain batik (print) sebagai seragam untuk acara ulang tahun Taman Mini Indonesia Indah ke-38 pada 2013.
Motif kemeja batik yang dijahitkan oleh tangan Wanny berupa motif Asmat. Sesuatu yang sangat berkesan, melihat penjaga loket dan tukang parkir menyambut dirinya pada hari puncak acara. Kemeja batik brwarna merah, hitam, dan corak garis berwarna putih itu ternyata turut dikenakan oleh segenap pegawai TMII, baik dari direktur, tukang sapu, serta para tamu yang hadir.
Kenangan
Ada kalanya suatu benda menyimpan kenangan terhadap seseorang. Kain songket warna coklat yang dimiliki Dr. Irmawati Mulyono Johan menjadi tanda kenangan antara ia dan almarhum gurunya, Hasan M. Ambarry, seorang ahli Arkeologi Islam terkemuka.
Pada waktu itu, Irmawati masih berstatus mahasiswa S1. Ia bersama sang guru dalam perjalanan ke Barus untuk melakukan penggalian. Kain itu dibeli dari seorang ibu yang sedang menenun di Tuktuk, Pulau Samosir sekitar tahun 1976.
[caption id="attachment_312864" align="aligncenter" width="427" caption="(Atas-Bawah) Kain songket dan kemeja berbahan kain Besurek asal Bengkulu (Dok: Pribadi)"][/caption]
Lain pula cerita dari Dr. R. Cecep Eka Permana tentang kemeja berbahan kain Besurek yang berasal dari Bengkulu. Kemeja berwarna hitam dan kuning pada coraknya semula milik almarhum ayahnya. Pada akhir dekade 80-an, kemeja tersebut dihibahkan kepada Cecep, lalu menjadi baju favorit yang dipakainya hingga kini.
Jembatan cinta
Kain tradisional Nusantara yang dipamerkan memang belum sepenuhnya mencakup berbagai wastra yang ada di penjuru Nusantara. Begitu banyak corak, motif, dan perpaduan warna lainnya. Namun, pameran “Cinta Wastra Nusantara” ini, sekiranya mampu mewakilkan mata hati betapa kayanya negeri ini.
Bukan sekadar kain saja, melainkan di dalamnya bisa dipelajari makna ragam motif dan warna. Upaya kerja keras para penenun atau penjahit Nusantara menghasilkan produk budaya khas daerahnya. Yang tak terlupa jua, ada cerita di balik kain tradisional Nusantara.
Wastra yang diperoleh melalui berbagai cara, mulai dari sebuah pemberian, hasil usaha membelinya sendiri sampai menjahitnya langsung. Momen dan kenangan berharga yang tecermin pada wastra ibarat jembatan terindah yang menghubungkan seseorang dengan orang-orang tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H