Mohon tunggu...
Fitri Haryanti Harsono
Fitri Haryanti Harsono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis di Kementerian Kesehatan RI

Akrab disapa Fitri Oshin | Jurnalis Kesehatan Liputan6.com 2016-2024. Spesialisasi menulis kebijakan kesehatan. Bidang peminatan yang diampu meliputi Infectious disease, Health system, One Health, dan Global Health Security.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Buku Puisi Tidak Laku Dipasaran

16 Mei 2015   05:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:56 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14313990631692433929

[caption id="attachment_383190" align="aligncenter" width="640" caption="Buku puisi tidak laku dipasaran tapi tetap laku di jagat dunia maya (Ilustrasi via https://m1.behance.net/)"][/caption]

“Mengapa masih keras kepala membuat antologi puisi yang di toko buku dilirik pun tidak oleh para pembaca? Jelas para penerbit berpikir berlipat-ganda untuk menerbitkan antologi puisi karena dipastikan tidak laku.”

Sepenggal pertanyaan di atas dari ulasan Putu Fajar Arcana berjudul “Puisi Tak Pernah Mati” (Kompas, Minggu, 10 Mei 2015, h. 28) membuat pikiran terkesiap. Fakta terbukti nyata dan apa adanya, tiap kali menjejak toko buku, perhatikanlah jejeran buku di bagian sastra.

Sepi dari jamahan tangan pembaca. Meskipun hari libur toko buku padat, tetap saja pembaca enggan bahkan kebanyakan tidak melirik buku bergaya nyastra, termasuk buku puisi. Buku puisi seakan terpinggirkan. Andaikata buku puisi bisa bersuara, mungkin mereka menjerit pilu.

Rumit

Pelbagai alasan buku puisi tak dilirik menyeruak hebat. Puisi yang terangkum dalam buku antologi puisi dirasakan sulit dipahami maknanya. Pemilihan kata yang kurang lazim didengar pembaca menjadi pemicu utama.

Barisan kata, kalimat sampai rangkaian bait kerap memakai bahasa tingkat tinggi sehingga bila pembaca ingin menginterpretasi isi puisi, mau tak mau memahami terlebih dahulu barisan kata tersebut. Pemaknaan kata bisa luas atau bermajas tertentu.

Kegagalan memahami isi puisi bisa pula terjadi saat pembaca tuntas membaca puisi, tapi wajah tak segan-segan menunjukkan kebingungan; sebenarnya bagaimana makna isi puisi. Ibarat kata sudah capai-capai baca, tapi tidak tahu artinya.


Bagi pembaca pada umumnya yang membutuhkan bacaan ringan, santai, dan mudah memahami isi buku. Buku puisi dinilai kurang cocok dan tergolong bacaan berat. Walaupun puisi masuk kategori fiksi, menikmati tiap bait memang cukup menguras otak.

Berat di pikiran sekaligus berat di hati—keluhan ketidakpahaman atas puisi yang dibaca. Segala kerumitan ini tak bisa dipersalahkan. Setiap individu bebas memilih buku bacaan yang diminatinya. Sepinya buku puisi bisa dibilang minat pembaca terhadap puisi cenderung amat kurang.

Intelektual

Segala kerumitan memahami puisi pun terkesan menjadi batasan kelas sasaran pembaca. Buku puisi yang terpajang di toko buku biasanya menampilkan hasil karya sastrawan, budayawan, dan penulis yang sudah mahir malang-melintang di dunia sastra.


Dalam persepsi pembaca, puisi-puisi yang ditulis pastilah memiliki kadar gaya bahasa tinggi. Pembaca yang biasa-biasa saja belum tentu tahu isi puisi. Artinya, sasaran pembaca lebih ditujukan kepada pembaca berintelektual, yakni penikmat dan pecinta puisi—yang benar-benar memahami sastra.

Asumsi yang subjektif, tapi tak menampik kebenaran hanya pembaca yang punya daya tangkap tinggi mampu memahami gaya bahasa puisi nan njelimet. Tidak semua puisi bergaya bahasa tinggi. Namun, untuk buku puisi yang diterbitkan penerbit mayor aka ternama dan besar sekiranya puisi yang ditulis harus mempunyai standar cukup tinggi.

Nilai jiwa

Nilai jual buku puisi boleh dianggap sebelah mata dipasaran. Namun, yang namanya sebuah karya akan terus ada dan mengalir. Jiwa-jiwa puisi tak pernah berhenti menyeruak. Menulis puisi sudah menjadi bagian hidup bagi sebagian penikmatnya.

Tiada hari tanpa berpuisi. Tiada hari tanpa melukiskan sesuatu lewat puisi, entah kejadian sehari-hari yang sederhana hingga berita-berita yang tengah marak bisa diangkat ke dalam puisi. Tidak ada istilah nilai jual tidak laku di dunia maya.


Para pengguna internet (netizen) yang tenggelam dalam dunia puisi selalu riuh mengeposkan puisi di media dan jejaring sosial. Para blogger tak kalah rajin membagi hasil tulisan puisinya. Ragam kompetisi menulis puisi begitu banjir digelar.

Penerbit indie makin banyak bermunculan dan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi netizen untuk mengirimkan puisi maupun menerbitkan antologi puisi secara indie. Buku antologi puisi terbitan penerbit indie melanglang-buana di jagat dunia maya. Puisi tetap menemukan tempat pengembaraannya sendiri.

Yang berbeda hanya media dan “dunia”-nya saja…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun