[caption id="attachment_316074" align="aligncenter" width="607" caption="Buku Jokowi (Bukan) untuk Presiden! (Ilustrasi via blog.kompasiana.com)"][/caption]
“Komitmen seorang Jokowi amat diperlukan, karena itu lebih berharga daripada terburu-buru menjadikannya sebagai problem solution skala nasional. Biarlah Jokowi melakukan metamorfosis secara alami untuk menjadi pemimpin nasional dengan menaiki tangga, langkah demi langkah sehingga tidak berpotensi menjadi pemimpin yang matang karena dikarbit atau menjadi “Leader by Accident”.
Sepenggal kalimat di atas dirangkai oleh Heri Purnomo dalam artikel berjudul Capres 2014, Cara Cepat “Membunuh” Jokowi begitu lugas dan tidak mengada-ngada. Sebuah pengharapan baik agar Jokowi menyelesaikan secara tuntas perannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, menjadi “pelayan” warga Jakarta.
Bukan satu suara saja yang senada, reaksi pro-kontra dari berbagai kalangan makin berwarna dan menjadi-jadi, apalagi jelang pesta demokrasi yang tinggal menghitung hari. Suara-suara riuh dunia maya berupa artikel yang ditulis para Kompasianer—sebutan blogger Kompasiana—terkait sosok Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi menjadi topik kesayangan yang tak boleh terlewat untuk ditulis.
Double moment
Gaya kepemimpinan Jokowi yang membumi dengan blusukan-nya dan segala pro-kontra tersaji dalam buku berjudul Jokowi (Bukan) Untuk Presiden! Kata Warga tentang Jokowi. Buku tersebut merupakan hasil kolaborasi 40 Kompasianer yang berisi 66 artikel. Suatu momen yang baik terhadap lahirnya buku ini ibarat “surat cinta” atas sosok Jokowi, bisa dikatakan double moment.
Kenapa double moment? Pertama, artikel yang ditulis dimulai jelang keriuhan Pilkada DKI Jakarta dan setelah terpilihnya Jokowi, warga DKI Jakarta makin mengenal sosok Jokowi sebagai pemimpin idaman Jakarta Baru. Kedua, buku masih relevan dibaca jelang “panasnya” pesta demokrasi mendatang, sorotan siapakah calon presiden (capres) yang pantas menduduki kursi RI 1.
Buku yang terdiri dari enam bab berisi luapan tanggapan tentang Jokowi yang dimulai dari Rekam Jejak, Hiruk Pikuk Pilkada, Pro-Kontra, Gebrakan, Jokowi Presiden, dan Tantangan. Melihat keenam bab tersebut kita memperoleh gambaran tentang Jokowi begitu populer dan istimewa di mata Kompasianer.
Pendekatan menggelitik
Sosok Jokowi mungkin sebelumnya tidak terlalu dikenal publik. Rekam jejak Jokowi dari bukan siapa-siapa hingga menjadi siapa-siapa diulas oleh Niken Satyawati dalam artikel berjudul Jokowi, “The Untold Story”. Menurut penuturan Niken, ia telah mengenal Jokowi sejak tahun 1997, saat Jokowi masih menjadi pengurus Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (Asmindo) Solo.
Selain gaya blusukan-nya, hal-hal kecil yang dilakukan Jokowi menjadi perhatian Niken, salah satunya kisah Jokowi bersama sopir pribadi dan ajudannya yang pulang larut malam, pintu gerbang rumah dinas terkunci lantas spontan Jokowi memanjat pintu pagar untuk masuk.
Hiruk pikuk Pilkada DKI Jakarta makin melejitkan nama Jokowi. Kehadiran Jokowi sebagai pemimpin yang merakyat dengan segala gebrakan kreatifnya. Konsep sinergitas dan pendekatan tersebut yang diharapkan warga DKI Jakarta, ada partisipasi warga secara langsung, mendengar suara-suara warga ke lapangan sehingga kebijakan yang akan dilakukan tidak diputuskan secara sepihak, warga harus tahu dulu demi perbaikan lebih baik.
Itulah yang dikupas manis oleh Eko Setiawan melalui artikelnya dengan judul yang membuat siapapun penasaran sekali, Jokowi: Taguchi, Sinergi, dan Kita. Pendekatan Taguchi untuk mendapatkan kondisi optimal sistem yang tangguh terhadap terjadinya berbagai perubahan faktor yang memengaruhi sistem tersebut (hlm 65). Kemudian dikaitkan dengan sinergi sebagai kesatuan kita bersama.
Munculnya Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta tidak lepas dari pro-kontra. Dalam kehidupan ini pro-kontra ibarat harmoni yang selalu dan pasti ada. Artikel Spiritualitas Jokowi dan Beethoven menjadi daya tarik Anita Godjali yang menghubungkan Jokowi dan Beethoven dari sudut pandang kesamaan kerja keras, ketulusan, keserhanaan, serta kejujuran. Beethoven yang menginspirasi para komposer di jagat musik, begitu pula sosok Jokowi yang amat dibutuhkan di negeri ini.
Pemberitaan Jokowi di berbagai media, lantas banyak orang yang mendukung juga banjir puji-pujian justru menjadi pertanyaan membuncah dari Katedrarajawen melalui artikelnya berjudul Apa Hebatnya Jokowi? Bagi Jokowi Lovers, mungkin judul artikel yang terdengar agak nyinyir, kok masih dipertanyakan.
Dalam artikelnya, Katedrarajawen mengungkapkan secara garis besar bahwa ada pemimpin lain yang mempunyai prestasi hebat, salah satunya Wali Kota Banjar, Jawa Barat, Herman Sutrisno (hlm 189). Sayangnya, Herman hanya kalah di pemberitaan saja.
Tatkala di Indonesia tengah heboh akan pemberitaan Jokowi, jauh di Jepang sana pada 1979 gaya blusukan telah sukses diterapkan di prefektur Oita oleh Morihiko Hiramatsu sebagai gubernur pada 1979. Artikel Yustinus Sapto Hardjanto berjudul Morihiko dan Jokowi, Antara Oita-Jakarta membuka wawasan bahwa blusukan semestinya mampu melahirkan rumusan strategi dan pendekatan secara bermakna demi kemajuan dan perbaikan ke arah yang lebih baik.
Tak dimungkiri pula, upaya Jokowi mengemban tugas perbaikan Jakarta lebih baik kerap ada pihak-pihak yang selalu menyalahkannya seakan-akan Jokowi-lah yang bertanggungjawab penuh atas banjir di Jakarta. Di sisi lain, bertubi-tubi harapan tinggi warga Jakarta, Jokowi itu juru penyelamat agar Jakarta bebas dari banjir.
Tantangan yang membutuhkan solusi bersama, bukan hanya Jokowi seorang, Jokowi Tak Harus Jadi “Superman” Mengatasi Banjir yang ditulis oleh M Rasyid Nur memberikan gambaran bahwa gaya Jokowi yang bersinergi dan terus berkomunikasi dengan warga kelak menemukan jalan keluar atas permasalahan di Jakarta, tidak melulu fokus pada masalah banjir saja.
Oase segar
Tentunya masih banyak lagi artikel dengan judul kreatif yang membuat buku Jokowi (Bukan) untuk Presiden! Kata Warga tentang Jokowi bukan sekadar bacaan biasa. Perihal remeh-temeh, ringan, dan sepele terkait Jokowi menjadi bumbu manis dan oase segar larut dalam gaya ke-40 Kompasianer yang menulisnya.
Judul buku kolaborasi serasa ending-nya berada di tangan pembaca, apakah Jokowi (ternyata) Bukan Presiden atau Jokowi (memang) untuk Presiden—layak nyapres dan terpilih pada 2014 atau 2019. Pilihan layak atau tidak, ada di tangan dan suara hati kita masing-masing.
***
Jokowi (Bukan) untuk Presiden!
Kata Warga tentang Jokowi
@2013 Kompasiana.com
Editor: Nurulloh
Cetakan I
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H