"Maaf ya Mbak/Mas, rilis beritanya belum bisa naik (tayang) dulu." (Kututup kalimat dengan emoticon sedih)
Pesan singkat tersebut rasanya sudah puluhan kali kusampaikan kepada public relations (PR), media relations atau humas suatu lembaga. Setiap kali menulis permintaan maaf atas rilis yang tidak ditayangkan di media daring, tempatku bekerja, terasa berat.
Berat karena aku ikut memikirkan perasaan sang PR atau humas yang bersangkutan. Berat karena cemas. Mungkin aku tidak akan dikirimkan lagi rilis dan agenda liputan.
Berat karena aku berpikir, hubungan kerjasama dengan PR atau humas renggang. Tanpa mereka, aku tidak mungkin tahu ada acara apa saja yang seharusnya diliput.
Saking memikirkan perasaan berat itu, aku butuh waktu lama membalas pertanyaan sang PR. Pertanyaannya singkat, "Mbak Fitri, bagaimana tanggapan soal rilis yang kemarin kami kirimkan? Sudah tayangkah?"
Aku pun membalas, "Maaf Mas, rilisnya tidak bisa dinaikkan dulu." Dan kata 'Maaf' lagi-lagi kuucapkan.
Ketika rilis berita tak ditayangkan, aku tahu bagaimana perasaan para PR atau humas. Pasti ada rasa kecewa, sedih, kesal, dan sebal atas rilis yang tidak tayang. Apalagi Anda mungkin harus melapor kepada atasan dan klien terkait rilis beritanya.
Nilai Kelayakan Berita
Lantas kenapa rilis berita ada yang tidak bisa naik tayang di media daring? Jawabannya, tidak atau masih kurang layak untuk naik tayang.
Setiap berita yang naik tayang harus punya nilai kelayakan berita (news value). Pun berlaku dengan kiriman rilis berita atau istilahnya siaran pers (press release).
"Jangan sampai berita yang aku tulis terkesan terlalu ngiklan." Begitulah pikiran tiap kali hendak mengolah rilis berita. Karena editor bisa saja menegur tatkala artikel rilis yang ditulis malah kesannya ngiklan.
Posisi reporter yang kuampu ibarat garda terdepan, apakah rilis-rilis berita yang masuk ke surel (surat elektronik/email) layak ditayangkan.Â