Mohon tunggu...
Fitri Haryanti Harsono
Fitri Haryanti Harsono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis di Kementerian Kesehatan RI

Akrab disapa Fitri Oshin. WHO Certificate of Achievement on Zoonotic disease-One Health, Antimicrobial resistance, Infodemic Management, Artificial Intelligence for Health, Health Emergency Response, etc. Jurnalis Kesehatan Liputan6.com 2016-2024. Bidang peminatan kebijakan kesehatan mencakup Infectious disease, Health system, One Health dan Global Health Security.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Jurnalistik: Salah Siapa? Bad News is Good News?

8 Maret 2012   05:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:22 2126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13312220181889878480

[caption id="attachment_175462" align="aligncenter" width="566" caption="Salah siapa? Bad News is Good News? via anakui.com"][/caption] Bagaimana situasi pertelevisian tanah air? Bagaimana mengukur rating stasiun televisi Indonesia? Bagaimana kriteria berita para jurnalistik dalam menyiarkan siaran berita tersebut? Apakah Bad News is Good News? Beberapa pertanyaan menggelitik ini rasanya layak untuk diungkap dalam “Pentingnya Membangun Jurnalisme Damai melalui Konten Berita yang Informatif, Mendidik dan Berbudaya” Budiarto Shambazy (Wartawan Senior Harian Kompas) Media menjadi pilar ke-4 dalam demokrasi bagi pers di zaman ini. Lembaga negara yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah tidak dipercaya oleh masyarakat. Masyarakat sekarang ternyata lebih percaya media. Tentu hal ini menjadi bisnis yang menguntungkan. Pers itu 'freedom' artinya pers mendapatkan jaminan bagi kebebasan berpendapat. Selain itu, pers tidak takut dengan 'social media' karena tidak kredibel. Bad News is Good News, rasanya tidak juga. Bad News sekarang harus mulai muncul dengan kesadaran bahwa tidak semua bad news tersebut bisa disiarkan. Rosiana Silalahi (Mantan Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV) Situasi pertelevisian Indonesia yakni secara konteks Indonesia termasuk neolid di dunia. Tidak ada yang se-liberal Indonesia. Hal ini dapat kita ketahui bahwa tidak ada televisi terestrial yang paling banyak selain Indonesia. Bila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memang liberal hanya memiliki 3 televisi terestrial secara langsung. Malaysia memiliki 3 atau 4 televisi terestrial.

Indonesia memiliki 10 televisi terestrial akibatnya persaingan antar televisi di Indonesia sangat kuat. Ke-10 televisi ini ibarat kata memperebutkan satu kue yang sama dan tidak mengalami perubahan. Artinya masing-masing televisi ini memasang iklan di televisi dengan tokoh yang eksis.

Persaingan televisi terutama menaikkan rating amat penting. Siaran berita dan hiburan ikut mendukung naiknya rating stasiun televisi tersebut. Pengukuran rating televisi di Indonesia ternyata 50% total responden yang diukur berasal dari wilayah Jakarta, sisanya yaitu daerah-daerah lain. Jakarta masih menjadi titik sentris siaran. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat justru memberikan kesempatan pada kalangan minoritas untuk mendapatkan tempat.

Ideologi pekerja televisi yang menyatakan bahwa No Picture is No News ternyata disalahgunakan menjadi semakin amburadul gambar yang disiarkan. Gambar menjadi falsafah penting dalam televisi tapi tidak semua gambar bisa disiarkan.

Tugas wartawan adalah melaporkan berita bukan menjadikan berita. Gambar-gambar berita televisi tanah air banyak menyiarkan kekerasan ataupun kehidupan seksual pribadi seseorang. Hal ini berbeda dengan BBC yang memiliki salah satu peraturan bahwa dilarang menyiarkan gambar kekerasan dan gambar menyangkut kehidupan seksual pribadi seseorang.

Solusi yang dapat diberikan dan perlu diterapkan dalam pertelevisian Indonesia antara lain membuat revisi Undang-undang Penyiaran sehingga adanya demokratisasi penyiaran dan komitmen dari masing-masing televisi. Menjaga misi dan visi televisi tersebut amat penting. Jadi, tidak hanya semata-mata memikirkan  rating saja.

Televisi memegang peran yang luar biasa penting. Pers yang memberitakan konflik antar kelompok tentu terjun langsung ke wilayah konflik dan gambar yang disiarkan baiknya diseleksi. Bila tidak diseleksi maka siaran televisi ini menakutkan bagi masyarakat yang menonton berita tersebut. Lebih baik lagi ada buku putih dari media. Akhyari Hananto (Founder Good News From Indonesia) Good News from Indonesia >> Kamboja ingin stasiun televisi yang menghibur akhirnya disiarkanlah Indosiar dengan sinetron dan film berlaga khas Indosiar. Di Kepulauan Solomon ada wisatawan yang ingin ke luar negeri (Malaysia). Kenapa tidak ke Indonesia? Karena Indonesia (berita) banyak perkelahian sehingga lebih aman ke Malaysia.

Kita selalu melihat dan mengekspos hal-hal buruk. Sebenarnya Indonesia memiliki banyak hal baik. Akan tetapi, apakah hal-hal baik dikabarkan media? Tidak. Jarang sekali berita baik terpampang muncul dalam headline media, justru hal-hal buruk lebih banyak menjadi headline. Pemerintahan yang konstruksi patut sebagai solusi mengatasi hal tersebut.

Rosiana Silalahi

"Seberapapun Anda menonton televisi tapi jangan biarkan siaran-siaran tersebut mengubah diri Anda. Anda sebagai penonton menentukan dan menyeleksi siaran televisi bagaimana yang pantas untuk Anda tonton. Televisi tidak sekadar bisnis tapi lebih baik lagi dibuat regulasi untuk kelompok minoritas agar diberikan tempat"

Seminar Jurnalistik

“Pentingnya Membangun Jurnalisme Damai melalui Konten Berita yang Informatif, Mendidik dan Berbudaya”

Selasa, 6 Maret 2012

Perpustakaan Baru UI lt.6

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun