[caption id="attachment_357265" align="aligncenter" width="640" caption="(Ki-ka) Dedi Musmabel, suku Dani dari Lembah Baliem, Papua bersama Evi Aryati Arbay, tour operator specialist "][/caption]
“Saya tidak malu datang ke sini (Jakarta). Ini adalah budaya (suku) asli saya. Saya senang bisa bertemu dengan teman-teman sekalian. Karena itu saya datang ke sini…”
Sepenggal sambutanhangat dari seorang suku Dani yang bernama Dedi Musmabel mendapat balasan tepuk tangan riuh dari pengunjung. Ia merupakan satu-satunya orang dari suku Dani, Lembah Baliem, Papua yang dihadirkan dalam acara “Dani Weeks 2014: Dani The Highlander, Manusia Pegunungan” di FX Sudirman, Jakarta pada 28-30 November kemarin. Meskipun berucap dengan terbata-bata, Dedi berbahasa Indonesia dengan cukup lancar.
Ia berpenampilan asli layaknya suku Dani. Penutup kepala dari bulu burung cenderawasih juga tanduk yang melingkar di hidung. Tak lupa, koteka menjadi satu-satunya penutup badan. Penampilan Dedi yang terkesan cukup menyeramkan justru menarik minat para pengunjung yang hadir. Mereka berlomba-lomba foto bersama dengan Dedi.
[caption id="attachment_357264" align="aligncenter" width="560" caption="Pengunjung berfoto bersama Dedi Musmabel dengan latar belakang honai (Arsip Pribadi)"]
Honai—sebutan rumah tradisional suku Dani—menjadi latar belakang pengunjung berfoto dengan Dedi. Manusia Pegunungan suku Dani ini tak sungkan-sungkan melingkarkan tangannya ke pundak anak kecil yang berfoto dengannya. Tanda senang sekali berfoto. Jepretan kamera di sana-sini sepertinya sudah akrab bagi Dedi.
Berdasarkan informasi dari panitia acara, Dedi Musmabel amat antusias diajak ke Jakarta. Ibarat kata ia termasuk juru bicara suku Dani.
“Sewaktu kami ke sana (Lembah Baliem), Dedi jadi pemandu yang menjelaskan segala hal tentang kehidupan masyarakat suku Dani. Tatkala ada pergelaran acara ini, ia langsung mau ditawarkan pergi ke Jakarta. Ia baru tiba di Jakarta pagi tadi lho, Jumat (28/11). Langsung terbang dari Papua. Kami mengurus KTP dan segala berkasnya dulu,” ujar salah seorang panitia acara Dani Weeks 2014 di sela-sela acara berlangsung.
Kami amat terkesan dengan Dedi Musmabel. Kenapa pula mesti malu dengan penampilan dari suku sendiri? Dari raut wajahnya, ia justru senang dan tidak terlihat kikuk di hadapan para pengunjung yang memotretnya.
Lebih dekat, lebih nyata
Kehadiran Dedi Musmabel, asli suku Dani begitu melengkapi acara Dani Weeks 2014. Para pengunjung ikut diajak lebih dekat dan lebih nyata mengenal kehidupan masyarakat suku Dani lewat sebagian deretan foto yang dipamerkan.
Deretan foto yang tertuang dalam buku foto tersebut merupakan hasil dokumentasi Evi Aryati Arbay, tour operator specialist “Out Beaten Track” yang meliputi pedalaman dan suku-suku tradisional di Indonesia. Ia telah melakukan perjalanan keliling Indonesia dan menjelajahi lebih dari 15 negara di Asia, Eropa, dan Afrika.
Mata langsung menangkap dua orang suku Dani berlari di garda terdepan sambil membawa bendera merah putih. Tombak dan panah terjulur ke depan, siap menyapu siapa saja yang datang menghadang. Ini bukanlah peperangan antar-suku, melainkan cara masyarakat suku Dani merayakan Hari Kemerdekaan RI yang jatuh pada 17 Agustus.
[caption id="attachment_357266" align="aligncenter" width="640" caption="Perayaan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus oleh masyarakat suku Dani"]
Tarian perang. Tradisi masyarakat suku Dani yang melekat kuat dalam keseharian hidup. Cermin identitas dan kehormatan yang dipegang teguh. Walaupun hingga sekarang pergolakan masih terjadi di Papua, antara menjadi bagian NKRI atau lepas dari NKRI, setidaknya merah putih tetap berkibar dengan bebasnya di Lembah Baliem.
Masyarakat suku Dani hidup dalam lingkup surga indah di Timur Indonesia. Barisan pegunungan dengan awan putih yang menyelimuti, riak alur sungai, sabana yang luas, serta hutan alami yang hijau. Alam menempa mereka menjadi pribadi yang tangguh.
Tradisi potong jari tangan mencerminkan duka mendalam terpapar pada sebingkai foto tangan. Kelima jari tangan kanan lengkap, sedangkan tangan kiri hanya “tersisa” ibu jari saja, keempat ruas jari lainnya tiada. Foto hitam putih berupa mumi dari suku Dani cukup membuat bulu kuduk merinding.
[caption id="attachment_357267" align="aligncenter" width="640" caption="Tradisi potong jari tangan"]
Beberapa foto pun memperlihatkan transformasi yang terjadi pada masyarakat suku Dani. Pada awalnya, penampilan keseharian masyarakat suku Dani masih “terbuka”. Laki-laki memakai koteka, sedangkan perempuan masih “telanjang di bagian atas”. Kini, mereka sudah memakai pakaian tertutup.
[caption id="attachment_357269" align="aligncenter" width="640" caption="Transformasi berpakaian"]
Masyarakat suku Dani ternyata tidak terkucil dari teknologi gadget. Seorang perempuan suku Dani asyik memainkan telepon seluler (handphone) di tangannya.