Badminton di mana-mana.. di kampung jeung di kota...
Badminton, atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai bulutangkis, memang olahraga yang Indonesia banget. Dalam berbagai ajang olahraga internasional, bangsa Indonesia berharap besar pada tim bulutangkisnya. Namun sayangnya beberapa tahun ini sepertinya prestasi tim bulutangkis Indonesia cenderung menurun, tidak semembanggakan dulu. Saya kadang-kadang merasa kesal saat menonton pertandingan bulutangkis, ketika para pemainnya banyak melakukan kesalahan, yang seharusnya tidak terjadi pada pemain profesional kelas dunia. Mereka seperti baru kemarin pegang raket. Makanya saya akhir-akhir ini tidak lagi memperhatikan perbulutangkisan Indonesia karena menontonnya sering membuat saya sakit hati sendiri.
Saya jadi teringat ketika dulu waktu saya masih muda—saat bulutangkis Indonesia sedang jaya-jayanya—tidak pernah ketinggalan tayangan pertandingan bulutangkis di TV. Pada saat itu pemain favorit saya adalah Mia Audina dan pasangan ganda putra Ricky Subagja/Rexy Mainaky. Malah saya pernah naksir berat Ricky Subagja, dan sangat patah hati ketika dia menikah dengan seorang perenang nasional yang sedang jaya-jayanya juga saat itu, Elsa Manora Nasution. Sayang sekali sekarang tidak ada ganda putra yang sehebat Ricky/Rexy, dan dua orang pemain bulutangkis kesayangan saya itu, Rexy Mainaky dan Mia Audina, membelot dan memilih membela negara lain. Rexy melatih tim bulutangkis Malaysia, dan Mia membela tim bulutangkis Belanda.
Saya sungguh-sungguh kecewa dengan bulutangkis Indonesia sampai-sampai tidak pernah menonton pertandingan bulutangkis lagi di TV. Namun, kekecewaan saya pada bulutangkis Indonesia sedikit memudar setelah beberapa hari yang lalu mendengar bahwa tim bulutangkis Indonesia mendapat tiga medali emas di ajang SEA Games di Vientiane, Laos. Senangnya saya karena salah satu medali emas itu didapat dari ganda putra Markis Kido/Hendra Setiawan, yang saya anggap penerus tahta Ricky Subagja/Rexy Mainaky. Yang membuat saya lebih senang lagi, mereka mengalahkan tim bulutangkis Malaysia, yang karena satu dan lain hal saya benci akhir-akhir ini.
Walaupun saya sempat kecewa pada tim bulutangkis Indoneisa, bulutangkis tetaplah olahraga yang menarik buat saya. Dari dulu saya selalu penasaran dengan apa yang diucapkan wasit sebelum pertandingan dimulai. Coba deh perhatikan. Setelah memperkenalkan kedua kubu yang akan bertanding, wasit pasti selalu mengatakan "love all, play!", lalu dimulailah pertandingannya. Pada saat pertandinganpun, kata love terus saja diucapkan ketika skor salah satu tim yang bertanding belum bergerak juga dari angka nol.
Memang love di sini artinya nol. Jadi saat wasit mengatakan love all, bukan berarti wasitnya cinta pada semua pemainnya, tapi love all di sini artinya skor nol-nol. Begitu juga untuk menyebut skor 1-0, wasit menyebutnya one-love, 2-0 adalah two-love, dan seterusnya. Lalu pertanyaannya, mengapa skol nol disebut love, dan mengapa bukan zero?
Ternyata usut punya usut, kata love digunakan pertama kali pada pertandingan tenis di Perancis. Ceritanya dulu bangsawan Perancis suka sekali bermain tenis. Untuk menyebutkan skor nol—karena angka nol bentuknya bulat seperti telur—orang Perancis menyebutnya le oeuf, yang artinya telur. Tenis menjadi semakin populer di Perancis, tersebar ke daerah-daerah di sekitarnya, akhirnya sampai juga ke Inggris. Saat orang Inggris bermain tenis, skor nol tetap disebut dengan kata le oeuf. Namun karena lidah orang Inggris berbeda dengan lidah orang Perancis, pengucapan kata le oeuf berubah menjadi love.
Bulutangkis sendiri kabarnya lahir di Inggris, walaupun sebenarnya permainan yang menggunakan raket dan kok sudah ada jauh sebelumnya di Mesir, India, dan China. Bulutangkis dikenal berasal dari Inggris karena orang Inggris yang memperkenalkan dan menyebarkan bulutangkis ke seluruh dunia, juga karena seorang Inggris bernama Isaac Spratt, yang memberi nama permainan ini badminton. Dalam perkembangannya, permainan bulutangkis banyak mengadaptasi dari permainan tenis. Karena itu, dalam menyebutkan skor, pada bulutangkis juga digunakan kata love untuk skor nol. Akhirnya kata love terus digunakan pada pertandingan tenis dan bulutangkis sampai sekarang.
^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H